Jalan Bareng Riky

Follow Me


Cerita Sebelumnya Bagian 1

"Ayok mang ke sebelah," ajak Saya pada Umang. Saya sudah tidak sabar ingin melihat Jakarta Gems Center (JGC) dari dalam. Kata orang-orang, dulu nama tempat menjual batu akik ini adalah Pasar Rawa Bening. Umang juga membenarkan perkataan Saya. Kata dia keadaan di daerah ini tidak seperti sekarang. Masih sepi dengan penjual. Itu 10 tahun yang lalu. "kalo sekarang, udah rame. penjualnya kadang sampe ke tepi jalan," tambahnya.

Saya masuk ke dalam gedung JGC dari pintu samping. Hal yang pertama Saya rasakan saat itu sejuk. Maklum lah, di dalam ruangan ini sudah diberi pendingin udara, beda dengan bangunan yang sebelumnya Saya masuki.

Keadaan di dalam JCG lebih ramai. Kios-kios berderet memenuhi setiap sudut ruangan lantai dasarnya. Pada isi dalam etalese kios tersebut memajang barang jualan yang sama. Yaitu batu akik. Semenetara itu, pada bagian tengah. Meja meneyrupai bentuk meja bundar sudah mengambil posisi. Di atasnya mengampar batu akik berbagai macam jenis. Orang-orang berkumpul di sana. Melihat-lihat batu, siapa tahu ada batu yang menjalin takdir dengannya.


Kunjugan Saya pada lantai dasar JGC tidak berlangsung sama, Umang mengajak Saya ke lantai 1. Dari lantai itu, Saya menuju Tasbih Scientific Gemological Laboratory Centre. Laboratory ini berguna untuk memberikan pelayanan bagi pecinta batu. Mereka para pecinta batu akik bisa mendapatkan informasi secara ilmiah batu akik yang dimiliknya. Selain itu mereka juga akan mendapatkan sertifikat yang terpercaya. Harga yang di tawarkan mulai dari Rp 150.000- Rp 350.000, untuk setiap sertifikat yang berbeda-beda. Hampir seperti itulah informasi dan penawaran yang Saya dapat dari brosur laborarium tersebut. Umang menambahkan bahwa jika menjadi member laboraturium tersebut akan mendapat diskon seperti yang dialaminya.

Saat itu di depan Gerbang Balai Yasa milik PT Kereta Api, Saya duduk di atas motor scoopy bewarna merah putih sedang menunggu teman. Sudah hampir setengah jam lamanya. Namun orang yang diharapkan tidak kunjung datang. Seharusnya, dari obrolan semalam di BBM kami janji bertemu pukul sebelas siang. Setelah beberapa kali lirikan ke spion motor, akhirnya Umang datang. Postur tubuhnya jangkung dan memiliki senyum yang ramah. Ia mengenakan kaos bewarna merah dilapisi dengan jaket tanpa lengan. Tidak seperti pakaian dinas yang biasa ia pakai. Katanya tidak enak kalau dilihat sekuriti.

"Ambil kanan aja, jangan ke stasiun," perintah Umang mengarahkan. Tidak jauh dari jembatan shelter trans jakarta Pasar Jatinegara, motor Saya belokan ke arah kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil. Beberapa ratus meter dari situ, kios-kios berukuran kecil berjejer saling berhimpitan. Bunyi ketukan palu dan mesin pemoles batu terdengar saling bersahutan. Orang-orang berdiri di depannya, ada juga yang sekedar melihat-lihat sambil berlalu-lalang. Padahal kondisi jalan saat itu becek bercampur tanah bekas sisa hujan.

Semakin ke ujung, Saya memeperlambat laju motor. Jalan yang rusak dan banyaknya pengendara motor menjadi pertimbangan. Akhirnya Saya memarkirkan motor di salah satu sisi jalan. Berhimpitan dengan motor-motor lainnya yang telah dulu tiba. Pada bagian ujung jalan itu, terpampang nama Jl Bekasi Barat 1 dan tembus ke Jl Bekasi Barat. Dari tembusan jalan tersebut, stasiun Jatinegara telihat hanya beberapa ratus meter saja.

Eli dan Kepingan Batu

Bangunan itu tampak belum sepenuhnya selesai. Lapisan semen bewarna abu-abu masih menempel pada sisi dinding bangunan. Teksturnya juga masih kasar. Sedangkan pada bagian dalam gedung, orang-orang berjalan hilir mudik. Kepala mereka hampir serempak menunduk. Menatap batu-batu yang berserekan di atas meja. Kadang mereka berhenti, memegang dan melihat dengan seksama batu yang menjadi pilihannya.

Umang mengenalkan Saya pada wanita setengah baya. Eli namanya. Ia berbicara dengan logat sunda yang masih melekat. "Gue tinggal dulu ya, lo tanya-tanya aja," kata Umang lalu pergi.

Sepeninggal Umang,  Saya memperhatikan kepingan batu yang terkumpul dalam beberapa baskom berisi air. Pada salah satu baskom, terdapat kepingan batu yang bercorak warna merah dan hijau tidak beraturan. Di sampingnya, batu bewarna hitam mengkilat menyapa rasa penasaran Saya. Kata Teh Eli, itu batu opal dari Banten. Sedangkan batu yang memiliki guratan bewarna-warni berasal dari Garut "namanya batu Pancawarna," kata teh Eli menjelaskan.


Bukan Saya saja yang tertarik dengan kepingan batu jualan Teh Eli. Orang-orang silih berganti menghampiri kiosnya. Jemari mereka mengaduk kepingan batu yang berada di dalam baskom. Lalu memandangnya dengan tajam. Kadang diantara mereka menggunakan senter untuk melihat kadar kristal yang terkandung dalam batu.  Maklum saja, lapak teh Eli sangat strategis. Letaknya berada di depan pintu masuk. Tepat setelah anak tangga terakhir sebelum memasuki isi dalam gedung.

Teh Eli mendapatkan kepingan batu dari petani, begitu ia menyebut penambang batu. Sekali beli, teh Eli langsung membelinya dengan borongan. bisa puluhan kilo hingga beratus kilo Kadang ia harus menggunakan truk untuk mengankut kepingan batu langsung dari sumbernya. Terlintas pikiran Saya membayangkan bagaimana para penambang batu harus masuk ke dalam-dalam goa, memukul keras-keras dinding goa demi mencari batu untuk sebuah rupiah. Begitu beratnya hidup mereka.

Mata Saya beralih ke meja terjauh di kios milik teh Eli. Dari sana tampak kepingan batu sudah berubah bentuk menjadi lebih kecil dan lebih menarik. Sudah sempruna untuk dijadikan batu cincin. Bentuknya ada yang bulat lonjong, ada pula yang bulat sempurna. Begitu juga dengan warnanya. lebih kinclong dan bersinar. "biar pembeli bisa milih bentuk yang dia suka, kalo bentuknya gede semua atau kecil semua jadi susah jualnya," ujar teh Eli memberi tahu.

Saya merasa heran, biasanya setiap kios apapun jualannya pasti memiliki nama. Rasa tahu itulah yang Saya tanyakan pada teh Eli. Ternyata nama kiosnya adalah Ki Santang. Jawaban itu sekaligus menjawab mengapa banyak tinta hitam yang tercoret di baskom-baskom milik teh Eli.

***



 Cerita Sebelumnya Pulau Moyo Saat Itu Bagian 1

Tali Kapal yang mengikat di dermaga sudah dilepaskan. Lalu kapal mulai kembali berlayar kembali. Tidak beberapa lama, Kapal kembali bersandar di dermaga. Pondasinya sudah terbuat dari beton. Saya jalan menyisir jalan utama. Terlihat rumah-rumahnya berderet saling berhimpitan di antara gang. Saya berhenti di sekolah dasar. Dimana tempat saya dan rombongan lain beristirahat dan tidur. Nama desa ini adalah Desa Labuan Aji.

Saya rebahkan kaki untuk sesaat. Mengistirahatkannya agar tidak keram. Setelah makan siang. Saya dibonceng warga lokal bergerak menuju destinasi wisata. Motor melaju di jalan datar untuk sesaat. Lalu menjadi tanjakan. Pepohonan kering menjadi pemandangan Saya ketika itu. Kadang pemandangan berupa pepohonan menghitam dan telah rata dengan tanah.  Motor terus bergerak masuk ke dalam hutan lebih dalam hingga harus berhenti. Jalanan berupa tanah dan sempit menjadi penyebabnya. Dari situ Saya mulai melangkah menyusuri pedalaman hutan Pulau Moyo.

Suara air jatuh diselingi gelak tawa terdengar di kejauhan. Semakin lama semakin terdengar. Rupanya para pengendara sepeda sudah tiba lebih dulu. Saya melintas di jembatan yang terbuat dari batang pohon. Di bawahnya mengalir sungai. Airnya terlihat bening. Saya terus melangkah, menuruni batu demi batu sampai tiba di sebauh air terjun. Bagian bawah air terdapat kolam. Warnanya hijau, hampir senada dengan warna pepohonan di sekelilingnya. Mata Jitu, begitu nama air terjun ini.


Kata warga lokal yang memandu Saya, nama itu diberikan karena tempat jatuhnya air sangat tepat di bawah kolam. Jitu atau tepat sasaran, begitulah kira-kira cerita yang Saya dapat mengenai asal mula nama Air Terjun. Tapi ada juga Nama lain air terjun ini. Namanya Lady Water Fall. Seperti yang diceritakan seorang teman di Sumbawa waktu itu. Ia punya alasan mengapa disebut demikian. Saat itu Putri Diana atau Lady Diana pernah berkunjung ke Air terjun Mata Jitu bersama Pangeran Wililiam dan Pangeran Henry. Mulai dari situ nama Air terjun lebih dikenal dunia dan memilki penyebutan lain. Bentuk air terjun ini berundak-undak hingga sampai ke bawah. Namun pada air terjun utama, ketinggian jatuhnya air mencapai 5 meter. Itu perkiraan Saya waktu itu.

Saya teringat perjalanan ke Pulau Moyo November 2012 saat itu. Perjalanan yang melelahkan juga menyenangkan. Banyak hal baru serta pengalaman yang Saya dapatkan di perjalanan tersebut. Saya juga mendapatkan keindahan dan pengetahuan alam nusantara yang indah. Sampai saat menulis ini, Saya masih merasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan tuhan. Diberikan kepercayaan olehnya untuk mengenal Pulau Moyo lebih dekat dan berbagi cerita lewat tulisan ini.

Langit telah gelap saat itu. Tubuh Saya tergeletak di atas kasur Hotel Tambora, Sumbawa, NTB. Letaknya bersebelahan dengan kantor bupati. Ukurannya cukup luas jika dibandingkan dengan hotel-hotel lainnya di Sumbawa. Usia hotel mungkin sudah cukup tua. Terlihat dari pendingin udaranya. Sangat berisik dan berbentuk kotak. Seperti keluaran generasi lama. Tapi hembusannya cukup terasa. Mmembuat hati Saya senang.

Walaupun telah malam, udara di sini membuat gerah, apalagi saat berada di dalam kamar. Kata orang, tanah Sumbawa memiliki 9 matahari ketika siang. Itu bukan isapan jempol. Saya juga merasakannya ketika itu.

"Tok...tok....tok....," suara itu terdengar pelan. Sumbernya dari jendela. Saya buka tirai yang menghalangi. Terlihat seorang bocah dari balik kaca. Saya hanya memberinya acungan jempol. Ketika melihat itu, ia beranjak pergi dan Saya melanjutkan tidur kembali. "tok...tok...tok....," suara itu kembali terdengar , kali ini seorang pria jangkung yang terlihat. Dari bibirnya dia berbicara tanpa suara. Terlihat meminta Saya untuk segera bangun. Wajahnya terlihat serius, Saya pun bergegas. Bergerak cepat membereskan tas dan keluar dari kamar.
Memandang dari atas Pulau Baling-baling sangat menenangkan
Langkah Saya berjalan di dermaga kayu siang itu. Tampak, beberapa pijakannya sudah ada yang bolong. Saya harus berhati-hati. Bisa-bisa, salah langkah, kaki Saya bisa terjebur ke dalam air. Suara denyit juga terdengar jelas ketika kaki Saya melintas. Panjang dermaga itu tidak seberapa, mungkin hanya sekitar beberapa meter. Letaknya berada di belakang rumah. Milik para nelayan desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Dari sini, Pulau Baling-baling tampak di kejauhan.

Tali yang mengikat pada perahu Saya tarik. Perahu pun mendekat, membuat langkah Saya dengan mudah tiba di atas perahu. "tadinya kita mau naik perahu no problem," kata Ridel pemandu Saya. Namun rencana itu urung dilaksanakan. Peralatan yang di bawa Andi menjadi pertimbangan. Ia takut dengan air laut yang bergejolak bisa merusak peralatan.

Bentuk kapal no problem sangat kecil. Mungkin seperti sampan yang diberi mesin. Antara tepian perahu dan permukaan air sangatlah dekat. Warnanya di cat orange. Beda dengan perahu yang Saya tumpangi. Warnanya putih di bagian luar dan biru pada bagian dalamnya. Mungkin berkapasitas mencapai 15 orang. Cukup untuk mengangkut Saya, Ibo, Andi. Ditambah Ridel, Kiki dan ayahnya. Meski begitu, air tetap berdekatan dengan perahu yang kami tumpangi.

Perahu bergerak perlahan. Di dorong dengan bambu yang diceburkan. Karang-karang masih tampak jelas di permukaan air. Kiki berada di bagian ujung depan perahu. Memberi navigasi pada ayahnya yang bertugas di belakang. Setelah berada di perairan yang cukup dalam, mesin kapal akhirnya dinyalakan.

Cuaca saat itu panas. Angin bergerak bebas ciri khas laut. Gulungan ombak tak segan menerpa bagian depan perahu. Membasahi bagian dalam termasuk pakaian yang Saya kenakan. Gelombang ombak terus menerjang perhau. Semakin ke tengah, gempuran yang di dapat semakin kencang. Kadang perahu berada di atas ombak lalu turun dengan cepat. Melahirkan bunyi yang keras dari dasar perahu. Ibo panik. Ia meminta jaket pelampung. Sadar akan dirinya yang tidak bisa berenang.

Anak-anak bercanda di jalan sempit Kampung Bandan
Saya meneorobos jalanan Jakarta yang ramai kala itu. Mendung masih bergelayut meski hujan telah berhenti. Dari Kampung Melayu perjalanan sedikit lancar namun mulai tersendat di Jalan Gunung Sahari. Ternyata genangan air menjadi penyebabnya. Air Kali Ciliwung meluap luber hingga ke tengah jalan. Proyek pengerukan sepertinya belum berhasil. Pelebaran badan kali juga masih tampak tak terurus. Ketinggian air saat itu mungkin mencapai 30 cm. Menutupi tempat kaki Saya berpijak. Saya pun harus mengambil gaya ngangkang, menghindari air agar sepatu tidak basah.

Motor Saya paksakan bergerak. Membelah genangan air yang bewarna coklat pekat. Mobil di sisi kanan melaju dengan bebas. Melahirkan gelombang.  Membuat motor saya agak goyah ketika terhantam. Jalan juga berlubang dan berkerikil. Kemudi motor Saya bergerak tidak sesuai dengan keinginan.

Pelan-pelan Saya mengambil lajur di sebelah kanan. Airnya tetap tinggi namun jalannya lebih rata dibandingkan lajur di sebelah kiri. Beberapa motor kehilangan lajunya. Raut wajah sang pemilik terlihat kesal. "jangan mati, jangan mati" ungkap Saya dalam hati. Berharap mesin motor Saya tetap kuat menghadapi ujiannya. Perlahan Saya mainkan gas agar tetap mampu berjalan. Di depan sana terlihat aspal yang menghitam. "Sedikit lagi sampai" Saya memberi semangat pada diri sendiri.

"ahh..." nafas Saya menghela nafas panjang. Tubuh yang tegang menjadi tenang. Perasaan juga menjadi lega. Genangan itu berhasil saya lalui. Motor saya gas melewati Mangga Dua square lalu berbelok ke kiri arah Tanjung Priuk. Pada putaran jalan, saya sempat berhenti.untuk bertanya. "ikutin jalan ini aja bang nanti adanya sebelah kanan", jelas tukang parkir putaran sambil menunjuk jalan.

Jul menatap mentari yang tenggelam
Bagian pertama ada di sini: Merajut Cerita Pulau Peucang Bagian 1

Langkah Saya berjalan menyusuri pantai. Pandangan luas begitu tentram dan damai. Sunyi dan tenang. Walau saat itu ramai dengan pejalan namun alamnya terjaga dengan baik. Membuat pulau ini begitu terharmonisasi dengan alam yang utuh. Saya ingat perkaatan Pak Edi tentang jumlah wisatawan yang dibatasi. "Wisatawan cuma boleh 1500, itu juga sudah penuh banget", katanya.

Pasir pantainya bersih dan putih. Sangat lembut memanjakan kaki Saya. Hamparan pasir ini memanjang dengan konturnya yang landai. Pepohonan hijau dan lebat  menjadi latar belakang pantai. Pada bagian depan , daratan Ujung Kulon menjadi panorama yang memikat. "jika dilihat dari peta, mungkin itu adalah daratan ujung Jawa bagian barat", pikir Saya saat itu.

Ombak bergerak tertiup angin. Wajah-wajah gembira berhamburan. Alam berinteraksi dengan manusia lewat caranya. Begitu juga dengan Saya. Tubuh Saya seakan terhipnotis dengan kolaborasi air laut yang bewarna biru muda dan biru tua. Saya serenang ke sana kemari. Kadang menyelam, kadang dipermukaan.  Saya seperti bocah yang kegirangan saat itu.

Jul menikmati pasir yang putih dan bersih Pulau Peucang
"ayok makan dulu" teriak pak Edi memanggil. Makanan beserta lauk pauk sudah tersaji di bawah pohon dekat dermaga. Akomodasi pengisi perut itu di kawal ketat. Anak buah kapal dan para pemandu menjadi penjaganya. Ada yang memegang bambu ada pula yang mengunakan batang pohon. Mata mereka siaga dengan gerombolan monyet yang mengintai. Sebaliknya, para monyet bersikap waspada, gerak-geriknya terus memantau melihat celah untuk mengambil kesempatan. "dasar monyet", keluh Andi. Potongan ayamnya berhasil dicuri kera dan di bawa lari ke atas pohon.

Babi-babi juga ikut meramaikan makan siang saat itu. Mereka menunggu, berharap diberi panganan oleh para pejalan. Kadang mereka mendekat namun geraknya dihentikan oleh awak kapal. "babinya jangan dikasih makan, nanti kebiasaan", teriak salah satu pemandu.

Keluarga kecil menggunakan balon untuk mempercantik foto mereka saat dipotret
Ting tung..., suara perempuan memperingatkan Saya agar tidak meninggalakan barang dalam rangkaian kereta. "Ayok turun," ajak Saya kepada Rini,istri Saya dan keponakan bernama Agil. Kami melangkah mencari pintu keluar. Saya bernostalgia dengan bangunan Stasiun Jakarta Kota. Sudah lama tidak berada di sini. Mungkin sekitar 15 tahun yang lalu. Terlihat langit-langit bangunan masih tampak sama. Tinggi dan ditopang oleh besi yang melengkung. Jam sebagai penunjuk waktu pun tidak berubah. terlihat antik meski dimakan waktu.

Langkah Saya keluar. Ini yang membedakan. Jika dulu terdapat petugas yang berdiri mengecek tiket dengan cara melubangi. Kini, teknologi telah mengambil alih. Hanya perlu menempelkan tiket berupa kartu, pintu akan terbuka otomatis. Hal ini juga yang membuat Agil antusias merasakan sensasi pintu elektonik.

Dulu petugas yang mengurusi pintu masuk kini teknologi telah mengambil alih peran tersebut
Perbedaan lainnya yang Saya rasakan, tidak ada lagi pedangang asongan dan penjual buah yang seliweran di dalam stasiun. keadaannya lebih teratur. Meski tetap ramai oleh para penumpang. Pada salah satu sisi stasiun, kedai-kedai terkini dan berkualitas internasioal berjejer, menawarkan produknya masing-masing.

Saya keluar ke pintu sebelah kiri namun harus balik ke arah berlawanan. Ternyata Kawasan Kota Tua yang ingin Saya kunjungi berada di arah sebaliknya. Dari sini Saya ingin mengajak Agil mengenal Museum Mandiri. Namun hal yang pertama dia mau adalah makan. "Agil laper cik", pintanya pada Rini. Alhasil Saya harus mengajaknya makan terlebih dahulu. Pilihan Agil saat itu adalah soto ayam dari pedagang kaki lima. Namun Ia kecewa dengan rasa soto pilihannya."gak ada rasanya", keluhnya.  Beruntung ketoprak pilihan Saya memiliki cita rasa yang cukup enak. Bumbu kacang dan rasa bawang putihnya pas.

Perut Sudah terisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Rencana awal yang ingin mengenalkan Agil dengan Museum mandiri, Saya ubah. Daripada harus balik lagi ke jalan semula kenapa tidak masuk Saja ke Museum Wayang atau Museum Fatahillah, jaraknya toh lebih dekat. Pikir Saya saat itu. Namun rencana hanyalah tinggal wacana. Pintu Museum sudah tertutup. Saya baru ingat kalau museum tutup jam 4 sore. Padahal saat itu waktu hanya berselisih sedikit dari jam tutup.

Selalu ada rencana cadangan, kata orang-orang. Itu juga yang saya gunakan. Berbekal tongsis yang lagi eksis, Kami pun jalan di pelataran bekas gedung Gubernur Batavia kala itu. Agil pun keranjingan dengan mainan barunya. Telepon seluler istri dan tongsis tidak lepas dari genggamannya. jeprat sana jepret sini, dia bergaya layaknya model dan fotografer yang dia rangkap sendiri. Seperti terjangkit virus dari Agil Saya dan istri juga tidak mau kalah bernasis ria. Kadang, kami melakukannya bertiga.

Kena virus Agil jadinya narsis juga
Agil merupakan anak Uni Neli, Kakak Rini yang tinggal di Tambun. Perjalanan ini menjadi pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Kota Tua yang bersejarah. Meskipun kaya akan cerita, bangunan tua tidak menjadi latar yang apik baginya. Hasil karyanya banyak didominasi oleh wajahya. "bagusnya ada pemandangan sekitarnya gil, jadi nanti kalau di sebar ke facebook, orang-orang bisa liat. Oh.. ternyata kamu lagi di kota tua." saran Saya padanya. Dia tertawa mendengar itu.

Agil bersama Makciknya bergaya di Pelataran Kota Tua

Jul Menatap keindahan perairan Pulau Peucang, Banten
Saat itu, hujan menyapa Saya di daerah Carita, Banten tahun lalu. Suasananya gelap hanya lampu mobil yang menjadi penerangan. Sesekali dari arah berlawanan, kendaraan lain menyapa lewat sinar terangnya. "Patokannya apa pak?", tanya Saya pada Pak Edi lewat telepon genggam. "Oh oke kalau begitu, Saya masih di jalan arah ke sana." sembari menutup pembicaraan.

Waktu termakan cukup lama, mungkin sekitar 4 jam sebelum tiba di Alfamart yang berhadapan langsung dengan Indomart, pesaingnya,  di desa Sumur, Ujung Kulon. Ini merupakan petunjuk dari Bapak Edi lewat obrolan sebelumnya. Dari sini mobil melaju perlahan mencari penginapan dengan Sarang Badak sebagai namanya.

Sangat mudah menemukan penginapan itu, Alil yang bertugas membawa mobil mendapat bantuan dari seorang pria. Tangannya melambai, mengarahkan untuk memasuki area penginapan. Ternyata itu Bapak Edi, Tubuhnya gempal dan memakai kacamata.  Ia telah menunggu kedatangan kami dari tadi.

Saat itu sudah dini hari. Pak Edi meminta Saya untuk tidur, "penyebarangan besok berangkat Pukul 07.00," mintanya dengan logat Sunda yang kental. Saya menuruti perkataanya, lagi pula badan juga sudah rindu dengan kasur.

Benar saja, Pukul 07.00 rombongan kami berangkat. Pak Edi menjadi pemimpin rombongan. Ada sekitar 20 orang  lebih yang di bawahinya saat itu. Kami menuju Pelabuhan Sumur. Suasanya ramai. Banyak pedagang ikan dan pembeli. Kadang suara mereka saling beradu mempertahankan harga yang diinginkan.

Rombongan kami terpecah menjadi dua. Rombongan pertama yang dikomandai langsung oleh Pak Edi di isi dengan satu keluarga besar yang beranggotakan sekitar 15 orang. Sedangkan Saya dan teman-teman bergabung dengan sesama pejalan lainnya.

Kapal berukuran kecil mengantar Kami sebelum pindah ke kapal yang lebih besar. Hal itu harus dilakukan, karena Pelabuhan Sumur memiliki perairan yang dangkal. Dari sini Pulau Umang sudah terlihat namun itu bukanlah tujuan utama. Saya masih harus bersabar, menunggu kapal bergerak lebih jauh lagi ke arah barat.
Jul diantara hamparan pasir yang luas di Pantai Bagedur
Jalan rusak dan berlubang membuat tubuh Saya merasa bergoyang-goyang seperti menaiki wahana jet coaster. Bahkan teman Saya Ateng berkelakar mengenai lubang jalan yang menurutnya sangat cocok untuk budi daya ikan. Candaan itu memang sangat pas karena ukuran lubang di daerah malingping, Banten begitu besar dan dalam. Kadang mobil yang saya tumpangi harus mencari jalan yang tidak berlubang terlalu dalam. Bahkan ada mobil jenis sedan yang tersangkut di dalam lubang dan harus berupaya keras untuk keluar dari lubang yang menjeratnya.

Perjalanan ke daerah Malingping terpaksa dilakukan karena menurut GPS yang terpasang di bagian depan mobil, rute ini merupakan jalur yang terdekat dari Ujung Kulon menuju Desa Sawarna. Mau tidak mau Saya dan teman harus berhadapan dengan mutu jalan yang sangat buruk kualitasnya. 

Setelah menjalani jalan yang buruk dan merasakan mabuk darat karena goncangan, hati saya sedikit terobati. Hamparan pasir hitam yang luas memanjang, dengan ciri khas angin laut yang kencang, membuat kenangan akan lubang jalan mulai sedikit terkikis. Pantai Bagedur namanya, yang berhasil mengobati rasa gundah Saya akan jalanan di daerah Malingping.

Pasir di pantai ini bertekstur padat. Bahkan mobil yang Saya tumpangi berhasil melintas dengan damai tanpa ada hambatan. Warnanya coklat agak menghitam, garis pantainya landai, memanjang jauh hingga berbatas dengan karang. Ombaknya keras melahirkan warna buih putih di tepiannya.

Pada bagian tepi terjauh pantai, berjejer warung-warung sedehana yang dibangun dengan bambu dan kayu. Atapnya menggunakan daun kelapa yang telah dikeringkan lalu dirajut. Saya masuk ke dalam satu warung itu. Penjualnya seorang ibu-ibu. Saya pun memesan kopi lalu meminta izin duduk pada kakek-kakek yang sedang sibuk menganyam daun kelapa yang kering.

Pada kakek-kakek itu Saya bertanya mengenai Pantai Bagedur yang menurutnya sangat ramai pada sore hari apalagi saat akhir pekan. Masih lanjutnya, kadang muda-mudi di sini menggunakan pantai sebagai arena balap motor. Hal itu mengingatkan Saya akan Pantai Pasir Padi di Pulau Bangka.

Obrolan kami pun meluas, Kakek itu ternyata pernah berada di Jakarta dengan rentang waktu yang cukup lama.Saat di jakarta dulu ,dirinya berprofesi sebagai supir taksi baik yang legal maupun tidak legal (taksi gelap). Ia juga bercerita dengan bangga, bahwa dirinya menikahi dengan gadis yang umurnya jauh melebihi umurnya. Saat itu umurnya 37 tahun, sedangkan sang istri saat itu baru berumur 14 tahun. Kakek itu juga memberi tahu bahwa istrinya merupakan ibu-ibu yang membuatkan pesanan kopi. Saya agak terkejut dan kagum pada kakek-kakek itu. Saya bilang padanya, "saat fase umur seperti bapak, bapak masih bisa dapat yang sangat muda." Kami pun tertawa bersama.

Topik obrolan kami semakin mundur ke belakang, ke zaman kemerdekaan. Saat itu si kakek masih kecil, Ia ingat ketika bapaknya membawa dirinya ke sebuah lapangan yang ramai akan manusia. Di mimbar, berdiri seorang pria berjubah putih lengkap dengan pecinya yang hitam. Suaranya lantang dan bertenaga membuat siapa yang mendegarnya terpaku, hening mendengarkan dengan seksama. Setiap kalimat yang dikeluarkan pria di atas mimbar itu penuh dengan sarat makna. Kata-kata yang dikeluarkannya membakar semangat bahkan kata si kakek, orang-orang yang datang pada waktu itu seakan terhipnotis dengan pidato Bung Karno. Mereka seakan satu paham dan jiwa dengan presiden Soekano.

Saya jadi ingat kutipan Bung karno bahwa "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Saya dan kakek itu berharap suatu saat nanti Indonesia dapat dipimpin orang yang visi kenegaraannya seperti Soekarno. Luas dan hidup untuk rakyat. Kakek itu merasa rindu dengan sosok Soekarno. Rindu akan pidatonya yang berapi-api.
Jul, Kopi dan Bukit Habibie
Diantara perbatasan Banten dan sukabumi, perjalanan Saya terhenti sejenak karena saran Ateng. ia menyebutkan kalau ada satu bukit yang memiliki pemandangan lanskap yang indah. benar saja, baru saja dia mengatakan seperti itu, Saya melihat kerumunan orang di warung seberang jalan. Arah tatapannya serupa, menatap arah samudra yang biru. Mobil kami pun berhenti dan terparkir di sisi jalan.

Tidak perlu waktu lama untuk mengucapkan rasa kagum dengan apa yang saya lihat. Dari sisi kejauhan membentang birunya lautan, pada bagian tepinya buih hasil pecahan ombak menghasilkan warna putih yang berjalan lambat. Sedangkan garis pantai terlihat berkelok-kelok memanjang hingga menghilang dari penglihatan saya. Pada sisi terdekat, pepohonan dan gundukan bukit yang menghijau mendomasi warna yang terlihat. Sangat meneduhkan mata Saya kala itu.

Saya mengambil posisi duduk di salah satu warung. Mejanya memanjang dan menghadap lanskap yang cantik khas alam nusantara. Hawanya sejuk padahal saat itu matahari sedang mengeluarkan sinar yang paling kuat. Saya memesan kopi hitam sambil bertanya pada Akang penjaga warung. Ia mengatakan bahwa nama tempat ini adalah Bukit Habibie atau Puncak Habibie. Dengan gaya bicaranya yang kemayu, Ia menambahkan bahwa di puncak bukit sana ada vila Bapak Habibie. Sambil tangannya menunjuk salah satu bukit.

Masih lanjut dari Akang penjaga warung, mantan presiden ke-3 tersebut memiliki hampir 10 hektar tanah termasuk warung yang di jaga si Akang. Mantan Presiden itu menggunakan helikopter jika ingin berkunjung ke vilanya yang terdapat di bagian puncak. Saya iri mendegar hal itu, sungguh nikmat bisa beristirahat santai. Apalagi hawa dan panorama yang ditawarkan sangat menggiurkan.

Akhirnya kopi hitam pekat saya datang. Sedikit demi sedikit Saya seruput kopi sasetan yang panas itu. Walaupun hanya berupa kopi kemasan, tidak membuat rasa kopi ini tidak enak. Saya yakin jika dibandingkan dengan negara lain apalagi daratan eropa, kopi kemasan di Indonesia masih yang terlezat.

Kopi di tangan, pemandangan yang apik, bukit yang sejuk memberikan keteduhan yang masuk ke dalam pikiran Saya saat itu. Kadang semilir angin menggoda, mencoba bermain dengan lapisan kulit terluar. Menambah rasa nyaman yang jarang Saya dapatkan saat berada di Jakarta.

Letaknya Bukit Habibi di perbatasan Banten dan Pelabuhan Ratu

Bukit Habibie sering digunakan untuk tempat singgah bagi para pejalan Banten-Pelabuhan Ratu



Bulan Mei 2014 Saya berkunjung ke Pulau Sangiang. Letaknya di Selat Sunda terapit Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Secara administratif masuk dalam kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten.

Selasa, 7 Mei 2014, pukul 9 malam. Saya bertemu dengan Bapak Abdul. Polisi hutan Pulau Sangiang. Perawakannya seperti orang Arab. Tinggi, hidung mancung dan besar. Kulitnya gelap. Saya minta penjelasan beliau tentang cara dan apa saja yang dibutuhkan. Ia menjelaskan secara rinci. Biaya, akomodasi sampai waktu yang tepat. Sepertinya Bapak Abdul sudah paham betul mekanisme ini.
Naik Perahu, Berangkat 
Pukul 9 pagi esoknya, Saya tiba di Pelabuhan Anyer. Pelabuhannya tidak terlalu besar tapi bersih. Tidak seperti Pelabuhan Muara Angke di Jakarta. Hitam pekat dan berminyak. Mungkin jika tercebur, kulit bisa mengelupas. Di salah satu sudut Pelabuhan Anyer terdapat bangunan. Sekilas terlihat tulisan Tentara Nasional Indonesia di plang bagian depan bangunan.

Bapak Abdul sudah tiba terlebih dahulu rupanya. “Mas Riky sini”, panggil bapak Abdul. “iya Pak,”  Saya menghampirinya ke perahu. Bentuk perahu tidak terlalu besar. Mungkin berkapasitas 15 orang. . Warna catnya biru. Pas sekali dengan air laut dan langit saat itu.
Sekitar pukul 10, Saya sampai di Pulau Sangiang. Barang-barang dibawa turun. Termasuk dua motor milik Bapak Abdul dan Kang Agus. Tempat Saya menginap berupa bangunan pos Polisi Hutan. Bersebelahan dengan pos TNI AL. Di dalamnya terdapat dua ruangan dan kamar mandi. Bagian depannya ada teras dan dapur di sisi samping. Kami istirahat sebentar dilanjutkan makan. Semua bahan yang di masak dibeli dari luar pulau. Saya makan dengan nasi, ayam goreng, tahu dan tempe sebagai lauknya. Ditambah dengan sambal sebagai pelengkap. Sumpah ini nikmat banget. 
Brrmmm... Jelajah pulau naik motor

Rombongan kami pergi ke arah timur pulau. Saya mendapat pinjaman motor jenis trail dari petugas TNI AL. Ateng duduk di bagian belakang. Sedangkan Bapak Abdul bersama Beki dan Kang Agus sendirian.
“Hayo loh Jul, Jatoh deh nih motor”, seru Ateng sambil tertawa.
“Tenang Teng, gue jago bawa nih motor, skor 8 lah buat gue.” Padahal Saya baru pertama kali mengendarai motor jenis ini.

“iya deh.” Ateng berat mengakui.

Sering kali Ateng menggoda tapi Saya tetap fokus. Kadang-kadang tertawa juga. Tidak tahan dengan tawa Ateng yang lucu. Nama asli Ateng sebenarnya adalah Adi. Namun karena posturnya yang mirip pelawak lawas, nama pemberian orang tuanya menjadi tidak terpakai lagi.


Senyumlah maka dunia pun akan ikut tersenyum bersama kamu

Kata-kata dari almarhumah nenek Saya masih terngiang di kepala. begitu sederhana namun memiliki makna yang jelas bagi kehidupan.

Petuah itu yang melekat saat Saya berkunjung ke desa Sawarna, Banten tahun lalu. Desa ini memiliki Pantai Pasir Putih yang menggoda untuk dikunjungi. Ombaknya besar, suaranya menggelegar saat bergulung. Meskipun begitu, masih ada beberapa spot yang masih layak untuk diajak bermain meski ditepian namun tetap harus berhati-hati. Walalupun pasir pantai memiliki daya hipnotis yang kuat karena kelembutan pasirnya, Saya lebih memilih mendaki bukit menyaksikan Pantai Pasir Putih dari sisi atas. Ada yang bilang "Pemandangan dari atas selalu yang terbaik".

Bangun tidur, ngopi, jalan

Sekitar pukul 4 sore Saya bergegas bangun. Tubuh masih terasa lemas karena melakukan kegiatan dari pagi hari. Mulai dari mengejar matahari terbit di Pantai Karang Bereum yang berujung gagal karena awan tidak berkoordinasi dengan baik, jalan-jalan santai di Pantai Legon Pari sampai menyaksikan hempasan ombak menabrak karang di Karang Taraje. Mengapa Saya bilang lelah, hal ini karena saat menuju ke berbagai tempat destinasi tadi Saya melakukannya dengan berjalan kaki dari penginapan. Beda dengan wisatawan lainnya. Mereka menggunakan jasa ojek. Merebahkan bokongnya pada kursi dan mempercayakan keahlian pada tukang ojek mengendarai motor.

 Kelelahan juga diakibatkan karena medan jalan yang berbukit. Naik turun kadang melawati persawahan membuat tenaga Saya sudah berkurang sejak awal hari. Kang Atok pemandu Saya bilang jaraknya cuma 1 km tapi Saya protes. Kalau jalan yang naik dan turun itu di tarik memanjang pasti akan lebih dari sekilo mungkin bisa lebih dari 3 km. Walaupun begitu, Saya tetap menikmati perjalanan di pagi hari tadi. Mengeluh boleh tapi jangan keterusan.

Saya bangunin teman-teman dengan dua cara. Pertama dengan cara halus, memanggil nama mereka dengan pelan namun cara ini tidak berhasil. Lalu yang kedua, Saya berteriak-teriak sampai mereka harus menutup kupingnya menggunakan bantal. Perlahan tapi pasti mereka pun bangun.

Masalah belum juga selesai, salah satu temen Saya, Ateng malah memesan kopi yang membuat perjalanan melihat sang surya tenggelam sedikit tertunda. Alhasil yang lain pun pada ikutan termasuk Saya juga. Dan pada akhirnya kami jalan mendekati pukul 17.00.

Atut, Mendaki, ini indah :)

Dalam perjalanan ke pantai, Kang Atok bercerita kalau ada satu bukit yang ditaksir oleh ibu Atut, Mantan Gubernur Banten yang terlilit masalah karena korupsi. Ia menceritakan bahwa mantan gubernurnya sering datang ke sini dengan pengawalan yang ketat. Ia memberi saran kalau mau liat matahari terbenam sebaiknya dari atas bukit senyum saja. tidak pakai kompromi Saya dan teman-teman langsung mengiyakan dengan cepat. Semuanya setuju serempak. Apalagi keadaan di Pantai lagi ramai sekali karena akhir pekan.

Dari jalanan di kampung berubah menjadi hamparan rumput dan pepohonan kelapa yang menjulang. lalu berjalan mendaki nukit dengan jalanan yang setapak. Kata kang Atok tidak semua wistawan diajaknya kemari hanya beberapa saja yang diangapnya asik olehnya. Beruntunglah Saya bisa merasakan pemandangan Pantai Pasir Puti dari atas bukit.

Tiba di bagian puncak, pemandangan yang tadinya tertutup telah berganti menjadi panorama lautan dan pantai yang memutih di tepiannya. Saya takjub dengan apa yang terlihat. lautan biru, buih ombak yang memutih, peselancar bermanuver di atas ombak, hamparan pasir putih yang memanjang terlihat kompak menghasilkan harmonisasi yang indah.

Matahari mulai meninggalkan dunia. Sinarnya yang menghasilkan perpaduan warna merah dan kuning sangat memanjakan mata. Saya duduk, menikmati suguhan yang atraktif dari alam desa Sawarna. di sini Saya tersenyum di bukit senyum, Desa Sawarna.

Pantas saja nama ini bukit senyum dan pantas saja ibu Atut si gubernur yang punya masalah itu naksir sama bukit senyum ini. Ternyata, pemandangannya itu lohh.....

Jul aja loncat-loncatan karena kesenangan di Bukit Senyum

Pesona Bukit Senyum di Desa Sawarna