Namanya mengandung mitos memang. Bidadari, sosok wanita cantik yang tinggal di khayangan. Hanya ditambahkan teluk pada bagian depan namanya.
Saya
mengunjungi salah satu tempat bidadari mandi ketika mereka turun di
bumi, awal Mei 2017.
Di sana saya merasakan air yang sama. Air yang digunakan bidadari membasuh kulitnya yang putih nan halus. Begitu salah satu stigma mengenai bidadari yang beredar.
Di sana saya merasakan air yang sama. Air yang digunakan bidadari membasuh kulitnya yang putih nan halus. Begitu salah satu stigma mengenai bidadari yang beredar.
Tapi saya tidak percaya dengan cerita itu.
Padahal
warga setempat bercerita kepada saya, "Kata orang-orang dulu, bidadari
turun dari atas, mandinya di kolam itu," ungkap seorang ibu penjaga
warung di tepi Pantai Banyu Meneng, pantai yang bersebelahan dengan
Pantai Mbehi, lokasi Teluk Bidadari berada.
Teluk
Bidadari terdiri dari dua kolam. Letaknya berada di tepi tebing. Warna
airnya hijau. Menggoda tubuh saya untuk nyemplung. Apalagi pemandangannya, apik banget dengan lanskap lautan luas tak bertepi.
Ukurannya tak begitu besar. Paling 4 kali berenang gaya bebas, tangan sudah sampai ke ujungnya.
Tapi
soal kedalaman, bikin hati saya ciut waktu lihat pertama kali. Kayak
enggak ada ujungnya. Cuma pas sudah nyebur, ya elah, ngepas sama ujung
kepala saya. Sekadar info, kira-kira tinggi saya sekitar 167an lah.
Mencapai
Teluk Bidadari lumayan nguras tenaga. Saya harus nembus hutan, melewati
pantai selok, naik bukit, turun bukit, ketemu pantai mbehi, naik bukit
lagi, baru nyampe di teluk bidadari.
Alokasi waktu buat sampai ke lokasi, kira-kira 45 menitan dari pos awal. Itu belum termasuk perjalanan dari Kota Malang.
Kalau
dari kota Apel--sebutan Kota Malang--butuh waktu 3 jam-an buat sampe di pos awal. Jalanannya rusak parah saat persimpangan Pantai Balekambang, Pantai Sendang Biru dan Pantai
Kondang Merak.
Padahal arah Pantai Balekambang dan Pantai Sendang Biru jalannya halus mulus, gak tahu kenapa jalan yang mengarah ke Pantai Kondang Merak, kayak di anak tirikan. Kasihan nasibnya.
Padahal arah Pantai Balekambang dan Pantai Sendang Biru jalannya halus mulus, gak tahu kenapa jalan yang mengarah ke Pantai Kondang Merak, kayak di anak tirikan. Kasihan nasibnya.
Teluk
Bidadari masuk dalam kawasan hutan lindung. Jadi wajar saja kalau nanti
diminta uang Rp 100 ribu. Uang itu nantinya digunakan untuk pemandu yang
mengantar kita, kebersihan dan tiket masuk untuk 10 orang. Kalo 11
orang ya bayarnya lebih, kalau cuma bertiga, bayarnya tetap Rp 100
ribu.
Sebelum memulai
perjalanan, seorang pemandu akan memberi kita arahan. Dari jangan buang
sembarangan, sampah harus dibawa balik lagi ke titik awal hingga kalau
cape bilang. Tapi satu yang paling saya suka, yakni momen doa bersama.
Merasa religius sekali saya waktu itu.
Pantai Mbehi |
Jangan
harap ada tukang nasi uduk atau pecel yang gelar lapak di sana. Mending
bawa perbekalan sebanyak-banyaknya. Cuma jangan lupa, seperti arahan
dari pemandu sebelumnya, "jangan buang sampah sembarangan dan bawa balik
lagi sisa sampahnya."
Berdekatan
dengan Teluk Bidadari ada lubang yang tembus ke laut. Kalau ombak
besar, cipratan airnya akan menembus dari lubang itu. Suaranya
menggelegar kayak bunyi cerobong kereta api. Saran dari ibu penjual
warung yang saya temui, baiknya ke teluk bidadari datang pada pukul
09.00-12.00 WIB. Itu waktu yang pas, karena laut sedang sedang pasang. Nanti
air yang muncrat dari lubang bisa mengangkasa sampai 25 meter. Yang
paling menakjubkan, kata ibu itu ada pelangi usai airnya meninggi ke
langit. Epik banget...
Teluk Bidadari |
Cerita Sebelumnya
Di rumah paman, Ridel masuk dengan langkah kaki yang gusar, wajahnya kebingungan, matanya memutar mencari penghuni rumah.
Mendengar ada orang di depan, istri paman datang dari dapur. ia pun langusng dicecar Ridel dengan pertanyaan mengenai kunci mobil, namun sayang, jawaban dari istri paman tidak membuat Ridel senang.
Ridel terus mencari kunci mobil. Ia balikkan bantal yang menjadi pijakan empuk saat bersandar di kursi. Kadang, Ia harus jongkok bahkan merebahkan tubuh untuk mencari kunci mobil yang hilang. Namun tetap saja kunci mobil sewaaan itu tidak kunjung ketemu.
Dari arah dapur, anak laki paman yang lainnya datang. Ia pun tak luput disergap Ridel untuk menanyakan kunci yang hilang. lagi-lagi anak lelaki paman itu tidak tahu.
Tiba-tiba.... "ini..." kata anak laki paman itu, Saya tidak tau nama anak lelaki paman tersebut, namun yang Saya tahu pasti, ia memegang benda mengkilap dengan gerigi yang berfungsi menjadi pengaman sekaligus pembuka pintu mobil. Ridel senang tidak karuan, "bajingan kau", ucap Ridel spontan.
Kami yang melihat itu lega sekaligus senang. Saya tidak akan berakhir di desa Tumbak untuk menginap, bukan karena tidak mau, namun ada agenda yang harus diikuti. Namun jika ada kesempatan untuk bisa kembali ke Desa Tumbak, Saya pasti akan melakukannya. Desa ini memiki keindahan dan keramah-tamahan seperti desa lainnya di Indonesia yang pernah Saya kunjungi. Tidak salah memang jika orang asing menilai masyarakat kita adalah orang yang ramah, ini adalah budaya dan karakter bangsa, jangan sampai ini memudar, ini bisa menjadi kekuatan kita menjadi negara yang sama dengan negara maju. Setidaknya itu harapan Saya saat menulis ini
Semua heboh dengan penemuan kunci mobil. Tawa hadir meluapkan kegembiraan. Suasana tegang mencair seketika. Kadang, canda memang dibutuhkan untuk melumerkan ketegangan, namun keisengan yang dilakukan anak lelaki paman benar-benar membuat wajah Ridel lecek seperti baju kotor.
Tidak terasa waktu sudah mengarah ke angka 12. Ini waktunya jam makan siang, ternyata istri paman sudah menyiapkan sajian ikan cakalang sebagai menunya.
Saya tahu cakalang menjadi ciri khas dari Sulawesi utara hingga Gorontalo. Ikan ini begitu popular di kedua daerah tersebut, khususnya Bitung, di ujung utara Sulawesi Utara. Daerah itu telah menjadi penghasil ikang Cakalang terbesar untuk wilayah Sulut.
Bentuk ikan ini mungkin seperti ikan tuna, atau itu hanya perkiraan saya saja karena keduanya mirip atau hanya penamaannya saja yang beda, karena di Indonesia ataupun negara lainnya, memiliki bentuk yang sama belum tentu memilki nama yang sama.
Sebagai makanan penutup, kami disajikan...., makanan bertekstur kental, bewarna coklat dan menggunakan gula merah sebagai bahannya.
Menuju Pulau Bohanga
Kami berjalan ke belakang rumah paman untuk kedua kalinya. Di sana, perahu kecil bewarna biru sudah menanti kami kembali.
Sementara itu, angin laut belum juga meredup. Tiupannya membuat gelombang ombak bergolak. Tapi untung lah, perjalanan kali ini tidak separah menuju Pulau Tumbak.
Paman bilang, Pulau Tumbak dan Pulau Baling-Baling juga berfungsi sebagai benteng pertahanan menahan laju ombak yang besar.
Sekitar 10 menit, kami sampai di Pulau Bohanga. Pulau yang sudah Saya lihat saat berada di puncak Pulau Tumbak.
Pulau ini berukuran kecil, mungkin, sekitar dua kali lapangan voli. Itu hanya perkiraan Saya saja.
Di bagian depannya, ada sebuah bangunan yang berfungsi sebagai penginapan.
Jika dilihat dari kejauhan, penginapan ini seakan mengapung di atas air.
Hanya ada dua kamar di bangunan tersebut. saya lupa berapa harga yang ditawarkan. Rasa senang sudah mengambil alih perasaan saya ketika itu.
"Byuurr..." Saya lompat ke air. Memang untuk berenang, kita hanya perlu melompat saja. Lanskap pulau ini adalah laut tanpa pembatas pantai. Sedangkan dibagian belakangnya, ditumbuhi dengan pepohonan bakau.
Airnya, alamak.... jernih. Biota lautnya masih terjaga. Apalagi jika kita berenang agak menjauh dari pulau. Karang-karangnya masih rapat.
Ridel cerita kepada Saya, jika dahulunya masyarakat di sini sempat menangkap ikan dengan menggunakan bom, yang membuat karang-karang di sini hancur. Namun berkat salah seorang yang peduli dengan lingkungan (saya lupa namanya) dan berhasil menyadarkan masyarakat di sini untuk lebih peduli dengan wilayahnya, membuat karang-karang di sini menjadi kembali hidup. Alhasil, banyak wisatawan lokal maupun mancanegara berkunjung ke desa mereka, untuk diantarkan ke pulau-pulau di sini dan menambah perekonomian masyarakat desa Tumbak.
Desa Tumbak=Tumbuhan Bakau
Perjalanan Saya di desa Tumbak, ditutup dengan memutari area pepohonan bakau.
Informasi dari Ridel, Tumbak adalah singkatan dari Tumbuhan bakau. Maklum lah. di desa ini tumbuhan rambat tersebut memang tumbuh subur mengelilingi desa.
Dengan mennggunakan perahu, kami menelusuri jalur air dengan sisi tumbuhan tumbak di bagian kanan dan kiri.
Kami juga melihat area pemakaman yang berada di sisi air. Paman bilang, jika ada warga Tumbak yang meninggal mereka akan dimakamkan di area tersebut dan diantar dengan menggunakan perahu. Ritual yang cukup unik bagi Saya.
Di rumah paman, Ridel masuk dengan langkah kaki yang gusar, wajahnya kebingungan, matanya memutar mencari penghuni rumah.
Mendengar ada orang di depan, istri paman datang dari dapur. ia pun langusng dicecar Ridel dengan pertanyaan mengenai kunci mobil, namun sayang, jawaban dari istri paman tidak membuat Ridel senang.
Ridel terus mencari kunci mobil. Ia balikkan bantal yang menjadi pijakan empuk saat bersandar di kursi. Kadang, Ia harus jongkok bahkan merebahkan tubuh untuk mencari kunci mobil yang hilang. Namun tetap saja kunci mobil sewaaan itu tidak kunjung ketemu.
Dari arah dapur, anak laki paman yang lainnya datang. Ia pun tak luput disergap Ridel untuk menanyakan kunci yang hilang. lagi-lagi anak lelaki paman itu tidak tahu.
Tiba-tiba.... "ini..." kata anak laki paman itu, Saya tidak tau nama anak lelaki paman tersebut, namun yang Saya tahu pasti, ia memegang benda mengkilap dengan gerigi yang berfungsi menjadi pengaman sekaligus pembuka pintu mobil. Ridel senang tidak karuan, "bajingan kau", ucap Ridel spontan.
Kami yang melihat itu lega sekaligus senang. Saya tidak akan berakhir di desa Tumbak untuk menginap, bukan karena tidak mau, namun ada agenda yang harus diikuti. Namun jika ada kesempatan untuk bisa kembali ke Desa Tumbak, Saya pasti akan melakukannya. Desa ini memiki keindahan dan keramah-tamahan seperti desa lainnya di Indonesia yang pernah Saya kunjungi. Tidak salah memang jika orang asing menilai masyarakat kita adalah orang yang ramah, ini adalah budaya dan karakter bangsa, jangan sampai ini memudar, ini bisa menjadi kekuatan kita menjadi negara yang sama dengan negara maju. Setidaknya itu harapan Saya saat menulis ini
Semua heboh dengan penemuan kunci mobil. Tawa hadir meluapkan kegembiraan. Suasana tegang mencair seketika. Kadang, canda memang dibutuhkan untuk melumerkan ketegangan, namun keisengan yang dilakukan anak lelaki paman benar-benar membuat wajah Ridel lecek seperti baju kotor.
Tidak terasa waktu sudah mengarah ke angka 12. Ini waktunya jam makan siang, ternyata istri paman sudah menyiapkan sajian ikan cakalang sebagai menunya.
Saya tahu cakalang menjadi ciri khas dari Sulawesi utara hingga Gorontalo. Ikan ini begitu popular di kedua daerah tersebut, khususnya Bitung, di ujung utara Sulawesi Utara. Daerah itu telah menjadi penghasil ikang Cakalang terbesar untuk wilayah Sulut.
Bentuk ikan ini mungkin seperti ikan tuna, atau itu hanya perkiraan saya saja karena keduanya mirip atau hanya penamaannya saja yang beda, karena di Indonesia ataupun negara lainnya, memiliki bentuk yang sama belum tentu memilki nama yang sama.
Sebagai makanan penutup, kami disajikan...., makanan bertekstur kental, bewarna coklat dan menggunakan gula merah sebagai bahannya.
Menuju Pulau Bohanga
Kami berjalan ke belakang rumah paman untuk kedua kalinya. Di sana, perahu kecil bewarna biru sudah menanti kami kembali.
Sementara itu, angin laut belum juga meredup. Tiupannya membuat gelombang ombak bergolak. Tapi untung lah, perjalanan kali ini tidak separah menuju Pulau Tumbak.
Paman bilang, Pulau Tumbak dan Pulau Baling-Baling juga berfungsi sebagai benteng pertahanan menahan laju ombak yang besar.
Sekitar 10 menit, kami sampai di Pulau Bohanga. Pulau yang sudah Saya lihat saat berada di puncak Pulau Tumbak.
Pulau ini berukuran kecil, mungkin, sekitar dua kali lapangan voli. Itu hanya perkiraan Saya saja.
Di bagian depannya, ada sebuah bangunan yang berfungsi sebagai penginapan.
Jika dilihat dari kejauhan, penginapan ini seakan mengapung di atas air.
Hanya ada dua kamar di bangunan tersebut. saya lupa berapa harga yang ditawarkan. Rasa senang sudah mengambil alih perasaan saya ketika itu.
"Byuurr..." Saya lompat ke air. Memang untuk berenang, kita hanya perlu melompat saja. Lanskap pulau ini adalah laut tanpa pembatas pantai. Sedangkan dibagian belakangnya, ditumbuhi dengan pepohonan bakau.
Airnya, alamak.... jernih. Biota lautnya masih terjaga. Apalagi jika kita berenang agak menjauh dari pulau. Karang-karangnya masih rapat.
Ridel cerita kepada Saya, jika dahulunya masyarakat di sini sempat menangkap ikan dengan menggunakan bom, yang membuat karang-karang di sini hancur. Namun berkat salah seorang yang peduli dengan lingkungan (saya lupa namanya) dan berhasil menyadarkan masyarakat di sini untuk lebih peduli dengan wilayahnya, membuat karang-karang di sini menjadi kembali hidup. Alhasil, banyak wisatawan lokal maupun mancanegara berkunjung ke desa mereka, untuk diantarkan ke pulau-pulau di sini dan menambah perekonomian masyarakat desa Tumbak.
Desa Tumbak=Tumbuhan Bakau
Perjalanan Saya di desa Tumbak, ditutup dengan memutari area pepohonan bakau.
Informasi dari Ridel, Tumbak adalah singkatan dari Tumbuhan bakau. Maklum lah. di desa ini tumbuhan rambat tersebut memang tumbuh subur mengelilingi desa.
Dengan mennggunakan perahu, kami menelusuri jalur air dengan sisi tumbuhan tumbak di bagian kanan dan kiri.
Kami juga melihat area pemakaman yang berada di sisi air. Paman bilang, jika ada warga Tumbak yang meninggal mereka akan dimakamkan di area tersebut dan diantar dengan menggunakan perahu. Ritual yang cukup unik bagi Saya.
Belitung memang sudah terkenal
dengan pantai-pantainya yang mengagumkan, tapi ada satu objek wisata bukan
pantai yang harus dikunjungi saat berada di sana. Museum Kata Andrea Hirata
namanya.
Andrea Hirata merupakan penulis
sebuah novel yang berjudul Laskar Pelangi. Buku itu mendulang sukses di layar
lebar Indonesia bahkan internasional.
Banyak lho...., kekayaan Pulau
Belitung yang diperkenalkan dalam film ini. Hal tersebut berdampak pada pariwsata
di Pulau Belitung yang meningkat .
Museum Kata Andrea Hirata sendiri,
terletak di Jalan Raya Laskar Pelangi, No. 7, Gantong, Belitung Timur, cuma
butuh sekitar 45 menit dari Tanjung Pandan, ibukota Belitung. Selain itu, para
agen perjalanan juga sudah menjadikan museum ini sebagai Paket
Tour Belitung, yang memudahkan kita untuk menuju Museum Kata.
Museum Sastra Satu – Satunya Di
Indonesia
Museum
ini berisi barang- barang yang memiliki nilai sejarah mungkin bisa ditemukan di
beberapa tempat yang ada di Indonesia. Namun, Museum Kata Andrea Hirata yang
ada di Kepulauan Belitung ini merupakan museum sastra pertama dan satu –
satunya di Indonesia. Karena hingga kini belum ada museum sejenis yang dibangun
lagi.
Dari
mulai masuk pintu gerbang, para pengunjung akan dimanjakan dengan warna – warni
yang menyegarkan mata. Makin ke dalam, akan melewati lorong terbuka yang
dikelilingi pohon pisang yang juga diberi hiasan tanpa merusak pohonnya.
Berbagai tulisan inspirasi bisa ditemukan di setiap dinding – dinding yang ada
pada Museum Kata Andrea Hirata ini. Pengalaman mengunjungi sebuah museum sastra
tentu akan menjadi pengalaman baru dan unik yang bisa dirasakan para pengunjung
ketika berada disini.
Untuk
memasuki museum ini tidak memerlukan biaya masuk. Museum yang didirikan oleh
Andrea Hirata ini diresmikan pada bulan November 2012. Waktu buka museum ini
dari mulai pukul 10.00 pagi hingga pukul 06.00 sore.
Setelah
puas melihat rangkaian kata yang menginspirasi. Ada ruangan – ruangan khusus
yang bisa ditemukan disini. Nama – nama ruangan tersebut pun memiliki nama para
tokoh yang ada dalam buku maupun film Laskar Pelangi.
Ada
ruangan yang bernama Lintang, Ikal, dan Mahar. Ruangan – ruangan ini juga
mempunyai ciri khas sama seperti karakternya yang ada pada filmnya. Seperti
karakter Mahar yang sangat senang dalam bidang seni, maka di ruangan ini
ditampilkan sosok yang menjadi inspirasi Mahar.
Warung
Kopi Kuli
Selain
bisa melihat ruangan – ruangan yang pastinya penuh inspirasi di dalam museum
ini. Para pengunjung juga bisa menikmati secangkir kopi yang berada di ruangan
dapur Museum Andrea Hirata Belitung.
Dapur
ini juga biasa disebut dengan Warung Kopi Kuli. Disini, para pengunjung bisa
menikmati suguhan kopi hangat yang nikmat. Setelah cukup bersantai dan
mengelilingi setiap ruangan yang ada pada Museum Kata Andrea Hirata ini, para
pengunjung bisa berburu souvenir Laskar Pelangi yang berupa CD dan barang
lainnya disini. Pengunjung juga bisa menikmati ruangan membaca atau
menulis yang disediakan.
Selain itu, novel
Laskar Pelangi pun bisa dibaca disini. Namun, novel tersebut tidak bisa dibawa
pulang. Bonus yang bisa didapatkan saat para pengunjung mengunjungi Museum Kata
Andrea Hirata Belitung ini adalah keberadaan cerpen miliki Andrea Hirata yang belum
pernah dipublikasikan dimanapun. Jika beruntung, kita bisa bertemu dengan salah
satu maestro sastra Indonesia, Andrea Hirata yangkadang berada di museum ini
untuk menyapa para pengunjung. Karena itu, bagi Anda yang memiliki rencana ke
Pulau Belitung bisa membuat agenda khusus satu hari untuk
mengunjungi Museum Kata Andrea Hirata Belitung ini.
Pemandangan dari puncak Pulau Tumbak |
Malam sebelumnya, agen
perjalanan yang mengurusi perjalanan Saya ke desa Tumbak bilang, “cuaca di
Tumbak masih aman,” katanya lewat whatsApp.
Setelah di dorong oleh paman, perahu kecil miliknya kembali
masuk ke perairan. Ia pun loncat ke atas perahu dan duduk di belakang. Tali
yang terbelit pada mesin perahu ditariknya dan “brrr…..” bunyi deru mesin
menyala. Perlahan kami meninggalkan Pulau Baling-baling dengan bantuan angin
dan dorongan ombak.
Di atas kapal, tubuh Ibo sudah terpasang dengan jaket
pelampung bewarna orange. Sepertinya ia masih trauma dengan goncangan ombak
saat menuju ke Pulau Baling-baling. Sedangkan saya, saya percaya dengan
kemampuan paman. Ia berasal dari Makassar, darah Suku Bajo mengalir
kuat di dalam diri paman. Saya tahu kalau Suku Bajo itu sangat pandai dalam
melaut. Bahkan hidup orang Bajo banyak dihabiskan di laut daripada di darat.
Kalau kata orang “Banyak pelaut handal dari Suku Bajo.” Ya benar atau tidaknya
pernyataan itu, insting saya mengatakan, itu memang benar apa adanya. Suku Bajo
adalah pelaut handal yang dimiliki nusantara.
Angin semakin deras mengalir, begitu juga dengan gulungan
ombak. Pulau Baling-baling semakin jauh tertinggal. Di sebelahnya, terlihat
Pulau Ponteng di kejauhan. Pulau itu memiliki bentuk seperti Pulau
Baling-baling. Tinggi menjulang layaknya sebuah bukit.
Perahu yang kami naiki tiba-tiba berada di atas ombak. Lalu
meluncur dengan cepat. Semakin lama, perahu semakin tinggi di atas gulungan
ombak. Mungkin ketinggiannya mencapai 3 meter atau lebih. Kadang perahu di atas ombak dan diam untuk
sepersekian detik lalu turun mengikuti alur ombak. Saat meluncur dan menyentuh
perairan, bunyi keras keluar dari dasar perahu. Bunyinya sangat keras. Perahu
kembali lagi naik ke atas gulungan ombak. Lalu turun lagi dengan cepat. Begitu
terus kejadiannya secara berulang-ulang.