Pemandangan dari puncak Pulau Tumbak |
Malam sebelumnya, agen
perjalanan yang mengurusi perjalanan Saya ke desa Tumbak bilang, “cuaca di
Tumbak masih aman,” katanya lewat whatsApp.
Setelah di dorong oleh paman, perahu kecil miliknya kembali
masuk ke perairan. Ia pun loncat ke atas perahu dan duduk di belakang. Tali
yang terbelit pada mesin perahu ditariknya dan “brrr…..” bunyi deru mesin
menyala. Perlahan kami meninggalkan Pulau Baling-baling dengan bantuan angin
dan dorongan ombak.
Di atas kapal, tubuh Ibo sudah terpasang dengan jaket
pelampung bewarna orange. Sepertinya ia masih trauma dengan goncangan ombak
saat menuju ke Pulau Baling-baling. Sedangkan saya, saya percaya dengan
kemampuan paman. Ia berasal dari Makassar, darah Suku Bajo mengalir
kuat di dalam diri paman. Saya tahu kalau Suku Bajo itu sangat pandai dalam
melaut. Bahkan hidup orang Bajo banyak dihabiskan di laut daripada di darat.
Kalau kata orang “Banyak pelaut handal dari Suku Bajo.” Ya benar atau tidaknya
pernyataan itu, insting saya mengatakan, itu memang benar apa adanya. Suku Bajo
adalah pelaut handal yang dimiliki nusantara.
Angin semakin deras mengalir, begitu juga dengan gulungan
ombak. Pulau Baling-baling semakin jauh tertinggal. Di sebelahnya, terlihat
Pulau Ponteng di kejauhan. Pulau itu memiliki bentuk seperti Pulau
Baling-baling. Tinggi menjulang layaknya sebuah bukit.
Perahu yang kami naiki tiba-tiba berada di atas ombak. Lalu
meluncur dengan cepat. Semakin lama, perahu semakin tinggi di atas gulungan
ombak. Mungkin ketinggiannya mencapai 3 meter atau lebih. Kadang perahu di atas ombak dan diam untuk
sepersekian detik lalu turun mengikuti alur ombak. Saat meluncur dan menyentuh
perairan, bunyi keras keluar dari dasar perahu. Bunyinya sangat keras. Perahu
kembali lagi naik ke atas gulungan ombak. Lalu turun lagi dengan cepat. Begitu
terus kejadiannya secara berulang-ulang.
“Jam berapa?” Tanya Ridel kepada saya
Mata saya melirik ke arah jam tangan “jam sebelas.”.
“Kita tadi berangkat jam berapa ya?” lanjutnya.
Saya berpikir sebentar “kalau gak salah, jam setengah delapanan.”
Ridel mengangguk “Tiga jam setengah kita jalan, biasanya empat jam baru sampai.”
Perjalanan kami dari kota Manado memang terbilang cepat. Ridel membawa laju mobil dengan sangat kencang. Bahkan membuat Andi sampai menutup matanya dengan kain khas Suku Badui yang dibawanya. Ia hanya geleng-geleng ketika saya melihat keadaanya waktu itu.
Ridel mengajak saya ke rumah kepala desa. Ketika sampai, orang yang dimaksud sedang tidak di rumah. Kami hanya berhasil menemui seorang wanita setengah baya, mungkin itu istrinya, pikir saya saat itu. Ridel meminta kartu identitas saya lalu memberikannya kepada wanita setengah baya. Namun KTP Saya ditolak. Ibu itu bilang, “Tidak perlu kalau cuma sehari.” Ya begitulah aturan dalam mengunjugi desa Tumbak. Desa ini memang sudah memiliki nama di beberapa kalangan pejalan, khususnya dari luar negeri. Biasanya mereka menginap di salah satu pulau yang memilki penginapan di atas air. Begitulah cerita Ridel kepada Saya.
Mata saya melirik ke arah jam tangan “jam sebelas.”.
“Kita tadi berangkat jam berapa ya?” lanjutnya.
Saya berpikir sebentar “kalau gak salah, jam setengah delapanan.”
Ridel mengangguk “Tiga jam setengah kita jalan, biasanya empat jam baru sampai.”
Perjalanan kami dari kota Manado memang terbilang cepat. Ridel membawa laju mobil dengan sangat kencang. Bahkan membuat Andi sampai menutup matanya dengan kain khas Suku Badui yang dibawanya. Ia hanya geleng-geleng ketika saya melihat keadaanya waktu itu.
Ridel mengajak saya ke rumah kepala desa. Ketika sampai, orang yang dimaksud sedang tidak di rumah. Kami hanya berhasil menemui seorang wanita setengah baya, mungkin itu istrinya, pikir saya saat itu. Ridel meminta kartu identitas saya lalu memberikannya kepada wanita setengah baya. Namun KTP Saya ditolak. Ibu itu bilang, “Tidak perlu kalau cuma sehari.” Ya begitulah aturan dalam mengunjugi desa Tumbak. Desa ini memang sudah memiliki nama di beberapa kalangan pejalan, khususnya dari luar negeri. Biasanya mereka menginap di salah satu pulau yang memilki penginapan di atas air. Begitulah cerita Ridel kepada Saya.
Lantai 2 Pasar Santa |
Saat kami tiba tempat itu sudah penuh, bahkan, banyak
pengendara mobil yang memarkir kendaraannya di luar gedung. Namun tidak
dengan Saya, motor Saya berhasil mendapat tempat di bagian belakang,
berhadapan dengan kios bunga dan kios bingkai yang sedang tidak
beroperasi.
"ya namanya juga pasar santa Rin, ya kayak pasar" ucap saya menyela.
"Aku pikir kayak di Blok S" khayal Rini. Matanya memantau
bangunan bertingkat tiga itu. Warnanya hijau muda dengan sedikit warna
orange pada beberapa bagian. Pada salah satu ruas jalannya, terdapat
anak tangga menuju ke dalam.
"kalo gini, Aku keren sendirian nih" lanjutnya percaya diri
dengan setelan sweater biru dipadu celana jins robek-robek dan hijab
bewarna kuning keputihan.
"ye awas loh ya, kalo ada yang lebih keren dari kamu" ancam
Saya sambil tersenyum. Wajah Rini cemberut, kesal dengan bangunan yang
tidak sesuai dengan pikirannya.
Dari pelataran parkir, saya dan Rini masuk melalui tangga
belakang. Kios-kios dilantai ini masih tampak seperti pasar kebanyakan.
Namun, saat naik satu tingkat melalui tangga bercabang tiga, kios-kios
bewarna cerah mulai mendominasi. Wajah Rini sumringah tersenyum.
Matanya berbinar ceria. Ia senang sekaligus malu.apa yang dikira
sebelumnya tidak sepenuhnya benar.
"kamu gak bilang, kalo dalemnya kayak gini" ucap Rini tidak menyangka. Saya hanya tersenyum, membalas perkataannya.
Terompet Raksasa di Institut Seni Budaya Sulawesi Utara |
Mobil kami menepi di Kawangkoan, kota kecil berhawa sejuk diantara Tompaso dan Tomohon. Ridel lapar rupanya. Ia membeli beberapa biapong dari sebuah kedai. Menurutnya, biapong dari kedai tersebut merupakan yang terlezat di Sulawesi Utara. Orang Manado juga mengakuinya.
Saya
lebih mengenal biapong dengan sebutan bakpau ketika di Jakarta. Roti berisi daging,
bewarna putih dan berbentuk bulat itu merupakan peningalan orang
Tiongkok saat hijrah ke Batavia kala itu.
Biapong kawangkoan terkenal paling lezat seantero Sulawesi Utara |
Perjalanan terus dilanjutkan hingga melewati sebuah restoran dengan
patung sate kolombi sebagai penanda. Di sana, Saya pernah mencicipi
paniki. Olahan yang dibuat dari daging kelelawar dicampur dengan
rempah. Bentuknya seperti hati ampela ayam yang biasa Saya makan di
warung tegal. Namun beda dengan paniki, makanan itu tidak berhasil
melewati tenggorokan Saya. Sebaliknya, Andi malah terlihat lahap
dengan hidangan saat itu.
Tak berselang lama, kami sudah tiba di Tompaso. Daerah ini memiliki
pacuan kuda sebagai andalan. Letaknya berada di tepi jalan utama.
Kata Om Ance, juru mudi Saya sebelumnya, Kuda-kuda dari daerah Tompaso memiliki lari yang cepat. Bahkan Prabowo, mantan Komandan
Jendral Kopassus juga memiliki kuda Tompaso sebagai piaraaan. Selain itu, Tompaso juga dikenal sebagai daerah sejarah. Di sinilah pembagian
wilayah Suku Minahasa dibentuk. Watu Pinawetengan namanya atau Batu
Pembagian.
Perjalanan Saya ketika menuju Watu Pinawetengan, dibumbui dengan cerita mistis dari Om Ance. Dia bilang, mobil yang kami tumpangi tidak kuat menanjak. Padahal mobil ini baru saja diservis dan lancar-lancar saja ketika melaju di jalanan tanjakan lainnya. Saya sih tidak percaya dengan ceritanya. Logika Saya bermain. Wajar saja mobil terasa lebih berat saat menanjak. Toh kontur tanjakannya berbeda, agak lebih menukik dan Om Ance
Saya, Andi, Om Ance dan Ibo di tepi Danau Linow |
Di depan Saya, lelaki itu berjalan pelan menatap ragu. Wajah dan matanya masih sayu. Rambut dan pakaianannya berantakan sisa tidur semalam. Sepertinya ia kurang tidur, pikir Saya saat itu. Umurnya sekitar 30-an. Jemarinya sesekali bermain di layar ponsel selular
"Ridel?"
Ia mengangguk. "Saya Riky," sambil menjabat tangannya.
Ketika kami sudah bersiap, lelaki muda datang dengan mobil sejenis avanza. Ia keluar dengan cepat lalu menghampiri Ridel. Mereka terlibat obrolan serius. Entah apa yang mereka bicarakan. Dari trotoar tempat Saya berdiri, suara mereka tidak terlalu terdengar. Padahal jarak kami tidak terlalu jauh. Hanya beberapa meter Saja.
Obrolan mereka terlihat segera berakhir, benar saja. Pemuda itu menghampiri dan membawa tas Saya lalu memasukkannya ke dalam mobil bagian belakang. Saya ikut masuk tanpa bertanya dan memilih duduk di kursi depan bagian kiri. Begitu juga dengan Andi dan Ibo. Mereka duduk di kursi tengah seperti biasa.
Kejadian di depan hotel masih menempel dalam pikiran Saya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ridel tidak ikut dengan kami? Rasa itu klimaks menjadi sebuah pertanyaan bagi si pemuda sekaligus juru mudi kami. "gak apa-apa, tadi ada kesalahan aja." jawaban itu tidak membuat Saya puas. Saya bertanya lagi mengenai Ridel. "Saya Ridel." jawabnya. Ia mengeluarkan KTP sebagai tanda bukti. Ucapannya tidak bohong. Nama Ridel dan foto yang menempel, serupa dengannya. Sedangkan pria tadi adalah pemandu pengganti bila Ridel tidak datang.
Ridel bertubuh tegap dan memiliki potongan rambut yang tipis di sisinya. Tingginya melebihi Saya, mungkin sekitar 170 cm. Ia mengawali cerita dengan bermalam di Batu Putih. Tamu bulenya memaksa dia untuk tidur sebelum melanjutkan perjalanan. Lagi pula, hari sudah sangat gelap saat itu.
Saat saya menulis ini, Saya teringat dengah darah Minang yang dimiliki istri Saya. Mereka, orang Minang sangat hebat berurusan dengan rantau-meranatau. Buktinya sederhana. Rumah makan padang. Mengapa bisa? coba saja lihat atau tanya orang-orang di daerah kalian masing-masing, pasti rumah makan orang Minang selalu hadir menjadi pilihan pengisi perut. Begitu hebatnya tradisi merantau mereka. Bahkan salah satu sinesas pernah membuat film dengan 'merantau' sebagai judulnya. Dalam film laga itu, budaya merantau diperlihatkan telah menakar dalam orang Minang. Mungkin budaya merantau orang Minang hanya bisa disaingi oleh Suku Bugis, suku lainnya di nusantara.
Merantau dalam orang Minang dilakukan demi mendapatkan hidup yang lebih layak dari tanah airnya. Namun Saya melihat dalam sisi yang berbeda. Dari tradisi merantau mereka, orang Minang memiliki pengalaman-pengalaman baru selama mereka merantau. Mereka dapat meilhat tempat baru, budaya baru, masalah baru hingga kenalan baru. Di sanalah mereka di uji coba , mengasah mental mereka dalam perantauan.
Latar budaya mereka menjadi salah satu penggerak Saya dalam melakukan perjalanan. Meski dalam konteks yang berbeda, dalam satu sisi, Saya mendapatkan hal yang sama dengan mereka yaitu sesuatu yang baru. Dari situlah Saya akan belajar mendapatkan pengalaman baru, budaya baru, dan bagaimana mengatasi masalah.
Jalan-jalan bagi Saya sama halnya dengan melakukan merantau. Walau tidak menentap dalam waktu yang lama namun dalam perjalanan, Saya akan mendapatkan cerita-cerita yang bisa mengilhami. Dari situlah Saya membuat blog jalanbarengriky sebagai media untuk berbagi. Saya harap dengan tulisan dan foto Saya bisa memberi informasi dan mengilhami orang untuk melakukan perjalanan.
Di situlah Travel Bloggers Indonesia hadir sebagai jembatan. Dimana para blogger yang menjadi membernya dengan senang hati dan tulus memberikan watu mereka untuk berbagi lewat tulisan, foto dan video. Come, Home, Indonesia.
Website: http://travelbloggersindonesia.com/
Facebook: https://www.facebook.com/travelbloggersindonesia
Twitter: https://twitter.com/IDTravelBlogs
Merantau dalam orang Minang dilakukan demi mendapatkan hidup yang lebih layak dari tanah airnya. Namun Saya melihat dalam sisi yang berbeda. Dari tradisi merantau mereka, orang Minang memiliki pengalaman-pengalaman baru selama mereka merantau. Mereka dapat meilhat tempat baru, budaya baru, masalah baru hingga kenalan baru. Di sanalah mereka di uji coba , mengasah mental mereka dalam perantauan.
Latar budaya mereka menjadi salah satu penggerak Saya dalam melakukan perjalanan. Meski dalam konteks yang berbeda, dalam satu sisi, Saya mendapatkan hal yang sama dengan mereka yaitu sesuatu yang baru. Dari situlah Saya akan belajar mendapatkan pengalaman baru, budaya baru, dan bagaimana mengatasi masalah.
Jalan-jalan bagi Saya sama halnya dengan melakukan merantau. Walau tidak menentap dalam waktu yang lama namun dalam perjalanan, Saya akan mendapatkan cerita-cerita yang bisa mengilhami. Dari situlah Saya membuat blog jalanbarengriky sebagai media untuk berbagi. Saya harap dengan tulisan dan foto Saya bisa memberi informasi dan mengilhami orang untuk melakukan perjalanan.
Di situlah Travel Bloggers Indonesia hadir sebagai jembatan. Dimana para blogger yang menjadi membernya dengan senang hati dan tulus memberikan watu mereka untuk berbagi lewat tulisan, foto dan video. Come, Home, Indonesia.
Website: http://travelbloggersindonesia.com/
Facebook: https://www.facebook.com/travelbloggersindonesia
Twitter: https://twitter.com/IDTravelBlogs