Terompet Raksasa di Institut Seni Budaya Sulawesi Utara |
Mobil kami menepi di Kawangkoan, kota kecil berhawa sejuk diantara Tompaso dan Tomohon. Ridel lapar rupanya. Ia membeli beberapa biapong dari sebuah kedai. Menurutnya, biapong dari kedai tersebut merupakan yang terlezat di Sulawesi Utara. Orang Manado juga mengakuinya.
Saya
lebih mengenal biapong dengan sebutan bakpau ketika di Jakarta. Roti berisi daging,
bewarna putih dan berbentuk bulat itu merupakan peningalan orang
Tiongkok saat hijrah ke Batavia kala itu.
Biapong kawangkoan terkenal paling lezat seantero Sulawesi Utara |
Perjalanan terus dilanjutkan hingga melewati sebuah restoran dengan
patung sate kolombi sebagai penanda. Di sana, Saya pernah mencicipi
paniki. Olahan yang dibuat dari daging kelelawar dicampur dengan
rempah. Bentuknya seperti hati ampela ayam yang biasa Saya makan di
warung tegal. Namun beda dengan paniki, makanan itu tidak berhasil
melewati tenggorokan Saya. Sebaliknya, Andi malah terlihat lahap
dengan hidangan saat itu.
Tak berselang lama, kami sudah tiba di Tompaso. Daerah ini memiliki
pacuan kuda sebagai andalan. Letaknya berada di tepi jalan utama.
Kata Om Ance, juru mudi Saya sebelumnya, Kuda-kuda dari daerah Tompaso memiliki lari yang cepat. Bahkan Prabowo, mantan Komandan
Jendral Kopassus juga memiliki kuda Tompaso sebagai piaraaan. Selain itu, Tompaso juga dikenal sebagai daerah sejarah. Di sinilah pembagian
wilayah Suku Minahasa dibentuk. Watu Pinawetengan namanya atau Batu
Pembagian.
Perjalanan Saya ketika menuju Watu Pinawetengan, dibumbui dengan cerita mistis dari Om Ance. Dia bilang, mobil yang kami tumpangi tidak kuat menanjak. Padahal mobil ini baru saja diservis dan lancar-lancar saja ketika melaju di jalanan tanjakan lainnya. Saya sih tidak percaya dengan ceritanya. Logika Saya bermain. Wajar saja mobil terasa lebih berat saat menanjak. Toh kontur tanjakannya berbeda, agak lebih menukik dan Om Ance
sudah dirasuki dengan cerita-cerita mistis yang ia dapat sebelumnya.
Watu Pinawetengan letaknya di atas bukit daerah Pinabetengan. Pemilihan tersebut bukan tanpa alasan. Daerah itu kaya akan sumber mata air dan lokasinya berada di tengah-tengah tanah Minahasa, membuat tempat ini sangat strategis dan netral. Pemilihan yang sangat bijak menurut saya. Kebijaksanaan para ketua suku Minahasa tidak hanya soal pemilihan tempat. Watu Pinawetengan juga menjadi simbol demokrasi ketika itu. Bagaimana tidak, sembilan suku yang mendiami tanah Minahasa harus membagi wilayah mereka dengan adil dan arif. Ini merupakan tugas yang berat. Pasti tidak mudah mencapai kata sepakat. Saya yakin pasti terjadi silang pendapat, Adu argumen dan mementingan diri sendiri. Namun, musyarawah mengambil peran ego masing-masing. Sembilan ketua adat yang mewakili tiap suku berunding dan berhasil mencapai kata sepakat.
![]() |
Watu Pinawetengan merupakan batu pembagian wilayah Suku Minahasa |
Institut Seni Budaya Sulawesi Utara
Bercerita soal Tompaso, mengigatkan Saya dengan terompet raksasa. Letaknya berada di halaman Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Untuk mendegar suaranya, Saya harus menaiki beberapa anak tangga sebelum menekan tombol yang terdapat pada lubang tiup terompet. "tooooottt....." suara terompet itu menggelegar. Bunyi itu timbul karena adanya daya listrik yang terhubung dengan tombol. Padahal, Saat pertama kali melihat terompet itu, Saya kira hanya pajangan. Jika bisa dimainkan, caranya pasti sama dengan terompet kebanyakan. Namun prediksi Saya salah. Selain terompet raksasa, kolintang raksasa juga terpajang di salah satu sudut institut. Keduanya masuk dalam Museum Rekor Indonesia sebagai kategori alat musik terbesar.
Institut Seni Budaya Sulawesi Utara tidak hanya sekedar yang besar-besar saja. Ada rumah tenun Kain Pinawetengan sebagai daya tarik lainnya. Di dalam rumah itu, kain tenun kreasi masyarakat lokal ditampilkan dengan apik. Motifnya menggunakani guratan-guratan yang ada pada Watu Pinawetengan sebagai inspirasi. Namun beda dengan Andi, Ia juga tertarik dengan salah satu wanita penjaga rumah tenun.Wajahnya berparas manis dan semampai. Andi giat berbicara dengannya. Usahanya tidak sia-sia, Ia berhasil mendapatkan nomor telepon seluler wanita yang menjadi incarannya ketika itu.
Sementara itu, pada bagian belakang rumah tenun, bunyi dentuman kayu terdengar terus-menerus dari sebuah alat. Pada sisi ruasnya, tampak benang-benang saling berhubungan yang terlihat sangat membingungkan. Namun tidak bagi wanita yang sedang duduk di hadapan alat itu. Sesekali tangannya memperbaiki benang jika terjadi kesalahan. Matanya tajam, fokus pada benang yang nantinya akan membentuk sebuah kain utuh. Pada sudut lainnya, seorang bapak, memintal kapas dengan sebuah alat putar. Alat itu digunakannya sebagai media untuk menciptakan benang. Saya memperhatikannya dengan seksama, meski begitu, tetap saja Saya kesulitan menangkap apa yang ia kerjakan pada saat itu.
![]() |
Rumah Tenun Pinawetengan di Institut Seni Budaya Sulawesi Utara |
Sebelum ke gereja, Saya sempat masuk ke Museum Pinawetengan yang letaknya berada di depan gereja. Hal yang paling menarik perhatian Saya ketika itu adalah baju perang khas Suku Minahasa. Warnanya merah dari atas sampai bawah dilapisi dengan kulit. Terbagi dalam beberapa potongan yang tidak utuh. Pada bagian kepala, bulu-bulu menjadi penhias. Mirip dengan baju adat khas Suku dayak. Selain itu, deretan kolintang dan musik bambu khas minahasa, berjejer memenuhi berbagai sudut ruangan. Pada bagian ujung ruangan, plakat dan piagam sebagai bentuk penghargaan, menempel sebagai penghias.
Cerita Selanjutnya: Dari Tiba Hingga Menggapai Pulau Baling-baling
Berbagai koleksi Museum Pinawetengan |
Biapongnya isi daging apa, kak? ayam atau kelelawar? :o
BalasHapusisi daging babi, mau coba? :D
HapusDaging babi itu nnikmat yesssss hahaha
Hapusiya emang enak tapi cukup sekali aja nyobanya ah, haram soalnya heheee
HapusTerompet raksasa nya bukan di tiup yaa tapi di pencet tombiol nya :-)
BalasHapusiya, pas pertama saya kira ditiup om, pantes gak bunyi-bunyi hahaaa
Hapus