Jalan Bareng Riky

Follow Me
Tampilkan postingan dengan label Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jakarta. Tampilkan semua postingan
Lantai 2 Pasar Santa
"ihh.. Kok kayak gini sih ky tempatnya" keluh Rini di pelataran parkir Pasar Santa sore itu. 

Saat kami tiba tempat itu sudah penuh, bahkan, banyak pengendara mobil yang memarkir kendaraannya di luar gedung. Namun tidak dengan Saya, motor Saya berhasil mendapat tempat di bagian belakang, berhadapan dengan kios bunga dan kios bingkai yang sedang tidak beroperasi.

"ya namanya juga pasar santa Rin, ya kayak pasar" ucap saya menyela.

"Aku pikir kayak di Blok S" khayal Rini. Matanya memantau bangunan bertingkat tiga itu. Warnanya hijau muda dengan sedikit warna orange pada beberapa bagian. Pada salah satu ruas jalannya, terdapat anak tangga menuju ke dalam. 

"kalo gini, Aku keren sendirian nih" lanjutnya percaya diri dengan setelan sweater biru dipadu celana jins robek-robek dan hijab bewarna kuning keputihan.

"ye awas loh ya, kalo ada yang lebih keren dari kamu" ancam Saya sambil tersenyum. Wajah Rini cemberut, kesal dengan bangunan yang tidak sesuai dengan pikirannya.

Dari pelataran parkir, saya dan Rini masuk melalui tangga belakang. Kios-kios dilantai ini masih tampak seperti pasar kebanyakan. Namun, saat naik satu tingkat melalui tangga bercabang tiga, kios-kios bewarna cerah mulai mendominasi. Wajah Rini sumringah tersenyum.  Matanya berbinar ceria. Ia senang sekaligus malu.apa yang dikira sebelumnya tidak sepenuhnya benar.

"kamu gak bilang, kalo dalemnya kayak gini" ucap Rini tidak menyangka. Saya hanya tersenyum, membalas perkataannya.


Cerita Sebelumnya Bagian 1

"Ayok mang ke sebelah," ajak Saya pada Umang. Saya sudah tidak sabar ingin melihat Jakarta Gems Center (JGC) dari dalam. Kata orang-orang, dulu nama tempat menjual batu akik ini adalah Pasar Rawa Bening. Umang juga membenarkan perkataan Saya. Kata dia keadaan di daerah ini tidak seperti sekarang. Masih sepi dengan penjual. Itu 10 tahun yang lalu. "kalo sekarang, udah rame. penjualnya kadang sampe ke tepi jalan," tambahnya.

Saya masuk ke dalam gedung JGC dari pintu samping. Hal yang pertama Saya rasakan saat itu sejuk. Maklum lah, di dalam ruangan ini sudah diberi pendingin udara, beda dengan bangunan yang sebelumnya Saya masuki.

Keadaan di dalam JCG lebih ramai. Kios-kios berderet memenuhi setiap sudut ruangan lantai dasarnya. Pada isi dalam etalese kios tersebut memajang barang jualan yang sama. Yaitu batu akik. Semenetara itu, pada bagian tengah. Meja meneyrupai bentuk meja bundar sudah mengambil posisi. Di atasnya mengampar batu akik berbagai macam jenis. Orang-orang berkumpul di sana. Melihat-lihat batu, siapa tahu ada batu yang menjalin takdir dengannya.


Kunjugan Saya pada lantai dasar JGC tidak berlangsung sama, Umang mengajak Saya ke lantai 1. Dari lantai itu, Saya menuju Tasbih Scientific Gemological Laboratory Centre. Laboratory ini berguna untuk memberikan pelayanan bagi pecinta batu. Mereka para pecinta batu akik bisa mendapatkan informasi secara ilmiah batu akik yang dimiliknya. Selain itu mereka juga akan mendapatkan sertifikat yang terpercaya. Harga yang di tawarkan mulai dari Rp 150.000- Rp 350.000, untuk setiap sertifikat yang berbeda-beda. Hampir seperti itulah informasi dan penawaran yang Saya dapat dari brosur laborarium tersebut. Umang menambahkan bahwa jika menjadi member laboraturium tersebut akan mendapat diskon seperti yang dialaminya.

Saat itu di depan Gerbang Balai Yasa milik PT Kereta Api, Saya duduk di atas motor scoopy bewarna merah putih sedang menunggu teman. Sudah hampir setengah jam lamanya. Namun orang yang diharapkan tidak kunjung datang. Seharusnya, dari obrolan semalam di BBM kami janji bertemu pukul sebelas siang. Setelah beberapa kali lirikan ke spion motor, akhirnya Umang datang. Postur tubuhnya jangkung dan memiliki senyum yang ramah. Ia mengenakan kaos bewarna merah dilapisi dengan jaket tanpa lengan. Tidak seperti pakaian dinas yang biasa ia pakai. Katanya tidak enak kalau dilihat sekuriti.

"Ambil kanan aja, jangan ke stasiun," perintah Umang mengarahkan. Tidak jauh dari jembatan shelter trans jakarta Pasar Jatinegara, motor Saya belokan ke arah kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil. Beberapa ratus meter dari situ, kios-kios berukuran kecil berjejer saling berhimpitan. Bunyi ketukan palu dan mesin pemoles batu terdengar saling bersahutan. Orang-orang berdiri di depannya, ada juga yang sekedar melihat-lihat sambil berlalu-lalang. Padahal kondisi jalan saat itu becek bercampur tanah bekas sisa hujan.

Semakin ke ujung, Saya memeperlambat laju motor. Jalan yang rusak dan banyaknya pengendara motor menjadi pertimbangan. Akhirnya Saya memarkirkan motor di salah satu sisi jalan. Berhimpitan dengan motor-motor lainnya yang telah dulu tiba. Pada bagian ujung jalan itu, terpampang nama Jl Bekasi Barat 1 dan tembus ke Jl Bekasi Barat. Dari tembusan jalan tersebut, stasiun Jatinegara telihat hanya beberapa ratus meter saja.

Eli dan Kepingan Batu

Bangunan itu tampak belum sepenuhnya selesai. Lapisan semen bewarna abu-abu masih menempel pada sisi dinding bangunan. Teksturnya juga masih kasar. Sedangkan pada bagian dalam gedung, orang-orang berjalan hilir mudik. Kepala mereka hampir serempak menunduk. Menatap batu-batu yang berserekan di atas meja. Kadang mereka berhenti, memegang dan melihat dengan seksama batu yang menjadi pilihannya.

Umang mengenalkan Saya pada wanita setengah baya. Eli namanya. Ia berbicara dengan logat sunda yang masih melekat. "Gue tinggal dulu ya, lo tanya-tanya aja," kata Umang lalu pergi.

Sepeninggal Umang,  Saya memperhatikan kepingan batu yang terkumpul dalam beberapa baskom berisi air. Pada salah satu baskom, terdapat kepingan batu yang bercorak warna merah dan hijau tidak beraturan. Di sampingnya, batu bewarna hitam mengkilat menyapa rasa penasaran Saya. Kata Teh Eli, itu batu opal dari Banten. Sedangkan batu yang memiliki guratan bewarna-warni berasal dari Garut "namanya batu Pancawarna," kata teh Eli menjelaskan.


Bukan Saya saja yang tertarik dengan kepingan batu jualan Teh Eli. Orang-orang silih berganti menghampiri kiosnya. Jemari mereka mengaduk kepingan batu yang berada di dalam baskom. Lalu memandangnya dengan tajam. Kadang diantara mereka menggunakan senter untuk melihat kadar kristal yang terkandung dalam batu.  Maklum saja, lapak teh Eli sangat strategis. Letaknya berada di depan pintu masuk. Tepat setelah anak tangga terakhir sebelum memasuki isi dalam gedung.

Teh Eli mendapatkan kepingan batu dari petani, begitu ia menyebut penambang batu. Sekali beli, teh Eli langsung membelinya dengan borongan. bisa puluhan kilo hingga beratus kilo Kadang ia harus menggunakan truk untuk mengankut kepingan batu langsung dari sumbernya. Terlintas pikiran Saya membayangkan bagaimana para penambang batu harus masuk ke dalam-dalam goa, memukul keras-keras dinding goa demi mencari batu untuk sebuah rupiah. Begitu beratnya hidup mereka.

Mata Saya beralih ke meja terjauh di kios milik teh Eli. Dari sana tampak kepingan batu sudah berubah bentuk menjadi lebih kecil dan lebih menarik. Sudah sempruna untuk dijadikan batu cincin. Bentuknya ada yang bulat lonjong, ada pula yang bulat sempurna. Begitu juga dengan warnanya. lebih kinclong dan bersinar. "biar pembeli bisa milih bentuk yang dia suka, kalo bentuknya gede semua atau kecil semua jadi susah jualnya," ujar teh Eli memberi tahu.

Saya merasa heran, biasanya setiap kios apapun jualannya pasti memiliki nama. Rasa tahu itulah yang Saya tanyakan pada teh Eli. Ternyata nama kiosnya adalah Ki Santang. Jawaban itu sekaligus menjawab mengapa banyak tinta hitam yang tercoret di baskom-baskom milik teh Eli.

***

Anak-anak bercanda di jalan sempit Kampung Bandan
Saya meneorobos jalanan Jakarta yang ramai kala itu. Mendung masih bergelayut meski hujan telah berhenti. Dari Kampung Melayu perjalanan sedikit lancar namun mulai tersendat di Jalan Gunung Sahari. Ternyata genangan air menjadi penyebabnya. Air Kali Ciliwung meluap luber hingga ke tengah jalan. Proyek pengerukan sepertinya belum berhasil. Pelebaran badan kali juga masih tampak tak terurus. Ketinggian air saat itu mungkin mencapai 30 cm. Menutupi tempat kaki Saya berpijak. Saya pun harus mengambil gaya ngangkang, menghindari air agar sepatu tidak basah.

Motor Saya paksakan bergerak. Membelah genangan air yang bewarna coklat pekat. Mobil di sisi kanan melaju dengan bebas. Melahirkan gelombang.  Membuat motor saya agak goyah ketika terhantam. Jalan juga berlubang dan berkerikil. Kemudi motor Saya bergerak tidak sesuai dengan keinginan.

Pelan-pelan Saya mengambil lajur di sebelah kanan. Airnya tetap tinggi namun jalannya lebih rata dibandingkan lajur di sebelah kiri. Beberapa motor kehilangan lajunya. Raut wajah sang pemilik terlihat kesal. "jangan mati, jangan mati" ungkap Saya dalam hati. Berharap mesin motor Saya tetap kuat menghadapi ujiannya. Perlahan Saya mainkan gas agar tetap mampu berjalan. Di depan sana terlihat aspal yang menghitam. "Sedikit lagi sampai" Saya memberi semangat pada diri sendiri.

"ahh..." nafas Saya menghela nafas panjang. Tubuh yang tegang menjadi tenang. Perasaan juga menjadi lega. Genangan itu berhasil saya lalui. Motor saya gas melewati Mangga Dua square lalu berbelok ke kiri arah Tanjung Priuk. Pada putaran jalan, saya sempat berhenti.untuk bertanya. "ikutin jalan ini aja bang nanti adanya sebelah kanan", jelas tukang parkir putaran sambil menunjuk jalan.

Keluarga kecil menggunakan balon untuk mempercantik foto mereka saat dipotret
Ting tung..., suara perempuan memperingatkan Saya agar tidak meninggalakan barang dalam rangkaian kereta. "Ayok turun," ajak Saya kepada Rini,istri Saya dan keponakan bernama Agil. Kami melangkah mencari pintu keluar. Saya bernostalgia dengan bangunan Stasiun Jakarta Kota. Sudah lama tidak berada di sini. Mungkin sekitar 15 tahun yang lalu. Terlihat langit-langit bangunan masih tampak sama. Tinggi dan ditopang oleh besi yang melengkung. Jam sebagai penunjuk waktu pun tidak berubah. terlihat antik meski dimakan waktu.

Langkah Saya keluar. Ini yang membedakan. Jika dulu terdapat petugas yang berdiri mengecek tiket dengan cara melubangi. Kini, teknologi telah mengambil alih. Hanya perlu menempelkan tiket berupa kartu, pintu akan terbuka otomatis. Hal ini juga yang membuat Agil antusias merasakan sensasi pintu elektonik.

Dulu petugas yang mengurusi pintu masuk kini teknologi telah mengambil alih peran tersebut
Perbedaan lainnya yang Saya rasakan, tidak ada lagi pedangang asongan dan penjual buah yang seliweran di dalam stasiun. keadaannya lebih teratur. Meski tetap ramai oleh para penumpang. Pada salah satu sisi stasiun, kedai-kedai terkini dan berkualitas internasioal berjejer, menawarkan produknya masing-masing.

Saya keluar ke pintu sebelah kiri namun harus balik ke arah berlawanan. Ternyata Kawasan Kota Tua yang ingin Saya kunjungi berada di arah sebaliknya. Dari sini Saya ingin mengajak Agil mengenal Museum Mandiri. Namun hal yang pertama dia mau adalah makan. "Agil laper cik", pintanya pada Rini. Alhasil Saya harus mengajaknya makan terlebih dahulu. Pilihan Agil saat itu adalah soto ayam dari pedagang kaki lima. Namun Ia kecewa dengan rasa soto pilihannya."gak ada rasanya", keluhnya.  Beruntung ketoprak pilihan Saya memiliki cita rasa yang cukup enak. Bumbu kacang dan rasa bawang putihnya pas.

Perut Sudah terisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Rencana awal yang ingin mengenalkan Agil dengan Museum mandiri, Saya ubah. Daripada harus balik lagi ke jalan semula kenapa tidak masuk Saja ke Museum Wayang atau Museum Fatahillah, jaraknya toh lebih dekat. Pikir Saya saat itu. Namun rencana hanyalah tinggal wacana. Pintu Museum sudah tertutup. Saya baru ingat kalau museum tutup jam 4 sore. Padahal saat itu waktu hanya berselisih sedikit dari jam tutup.

Selalu ada rencana cadangan, kata orang-orang. Itu juga yang saya gunakan. Berbekal tongsis yang lagi eksis, Kami pun jalan di pelataran bekas gedung Gubernur Batavia kala itu. Agil pun keranjingan dengan mainan barunya. Telepon seluler istri dan tongsis tidak lepas dari genggamannya. jeprat sana jepret sini, dia bergaya layaknya model dan fotografer yang dia rangkap sendiri. Seperti terjangkit virus dari Agil Saya dan istri juga tidak mau kalah bernasis ria. Kadang, kami melakukannya bertiga.

Kena virus Agil jadinya narsis juga
Agil merupakan anak Uni Neli, Kakak Rini yang tinggal di Tambun. Perjalanan ini menjadi pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Kota Tua yang bersejarah. Meskipun kaya akan cerita, bangunan tua tidak menjadi latar yang apik baginya. Hasil karyanya banyak didominasi oleh wajahya. "bagusnya ada pemandangan sekitarnya gil, jadi nanti kalau di sebar ke facebook, orang-orang bisa liat. Oh.. ternyata kamu lagi di kota tua." saran Saya padanya. Dia tertawa mendengar itu.

Agil bersama Makciknya bergaya di Pelataran Kota Tua