Tampilkan postingan dengan label banten. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label banten. Tampilkan semua postingan
Jul Menatap keindahan perairan Pulau Peucang, Banten |
Waktu termakan cukup lama, mungkin sekitar 4 jam sebelum tiba di Alfamart yang berhadapan langsung dengan Indomart, pesaingnya, di desa Sumur, Ujung Kulon. Ini merupakan petunjuk dari Bapak Edi lewat obrolan sebelumnya. Dari sini mobil melaju perlahan mencari penginapan dengan Sarang Badak sebagai namanya.
Sangat mudah menemukan penginapan itu, Alil yang bertugas membawa mobil mendapat bantuan dari seorang pria. Tangannya melambai, mengarahkan untuk memasuki area penginapan. Ternyata itu Bapak Edi, Tubuhnya gempal dan memakai kacamata. Ia telah menunggu kedatangan kami dari tadi.
Saat itu sudah dini hari. Pak Edi meminta Saya untuk tidur, "penyebarangan besok berangkat Pukul 07.00," mintanya dengan logat Sunda yang kental. Saya menuruti perkataanya, lagi pula badan juga sudah rindu dengan kasur.
Benar saja, Pukul 07.00 rombongan kami berangkat. Pak Edi menjadi pemimpin rombongan. Ada sekitar 20 orang lebih yang di bawahinya saat itu. Kami menuju Pelabuhan Sumur. Suasanya ramai. Banyak pedagang ikan dan pembeli. Kadang suara mereka saling beradu mempertahankan harga yang diinginkan.
Rombongan kami terpecah menjadi dua. Rombongan pertama yang dikomandai langsung oleh Pak Edi di isi dengan satu keluarga besar yang beranggotakan sekitar 15 orang. Sedangkan Saya dan teman-teman bergabung dengan sesama pejalan lainnya.
Kapal berukuran kecil mengantar Kami sebelum pindah ke kapal yang lebih besar. Hal itu harus dilakukan, karena Pelabuhan Sumur memiliki perairan yang dangkal. Dari sini Pulau Umang sudah terlihat namun itu bukanlah tujuan utama. Saya masih harus bersabar, menunggu kapal bergerak lebih jauh lagi ke arah barat.
Bulan Mei 2014 Saya berkunjung ke Pulau Sangiang. Letaknya di Selat Sunda terapit Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Secara administratif masuk dalam kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten.
Selasa, 7 Mei 2014,
pukul 9 malam. Saya bertemu dengan Bapak Abdul. Polisi hutan Pulau
Sangiang. Perawakannya seperti orang Arab. Tinggi, hidung mancung dan besar. Kulitnya
gelap. Saya minta penjelasan beliau tentang cara dan apa saja yang dibutuhkan. Ia menjelaskan secara rinci. Biaya, akomodasi sampai waktu yang tepat.
Sepertinya Bapak Abdul sudah paham betul mekanisme ini.
Naik Perahu, Berangkat
Pukul 9 pagi esoknya,
Saya tiba di Pelabuhan Anyer. Pelabuhannya tidak terlalu besar tapi bersih.
Tidak seperti Pelabuhan Muara Angke di Jakarta. Hitam pekat dan berminyak.
Mungkin jika tercebur, kulit bisa mengelupas. Di salah satu sudut Pelabuhan
Anyer terdapat bangunan. Sekilas terlihat tulisan Tentara Nasional Indonesia
di plang bagian depan bangunan.
Bapak Abdul sudah tiba
terlebih dahulu rupanya. “Mas Riky sini”, panggil bapak Abdul. “iya Pak,” Saya menghampirinya ke perahu. Bentuk perahu tidak terlalu besar.
Mungkin berkapasitas 15 orang. . Warna catnya biru. Pas sekali dengan
air laut dan langit saat itu.
Sekitar pukul 10, Saya sampai di Pulau Sangiang. Barang-barang dibawa turun. Termasuk dua motor milik
Bapak Abdul dan Kang Agus. Tempat Saya menginap
berupa bangunan pos Polisi Hutan. Bersebelahan dengan pos TNI AL. Di dalamnya
terdapat dua ruangan dan kamar mandi. Bagian depannya ada teras dan dapur di
sisi samping. Kami istirahat sebentar dilanjutkan makan. Semua bahan yang di
masak dibeli dari luar pulau. Saya makan dengan nasi, ayam goreng, tahu dan
tempe sebagai lauknya. Ditambah dengan sambal sebagai pelengkap. Sumpah ini nikmat
banget.
Brrmmm... Jelajah pulau naik motor
Rombongan kami pergi ke
arah timur pulau. Saya mendapat pinjaman motor jenis trail dari petugas TNI AL.
Ateng duduk di bagian belakang. Sedangkan Bapak Abdul bersama Beki dan Kang Agus
sendirian.
“Hayo loh Jul, Jatoh
deh nih motor”, seru Ateng sambil tertawa.
“Tenang Teng, gue jago
bawa nih motor, skor 8 lah buat gue.” Padahal Saya baru pertama kali mengendarai
motor jenis ini.
“iya deh.” Ateng berat
mengakui.
Sering kali Ateng
menggoda tapi Saya tetap fokus. Kadang-kadang tertawa juga. Tidak tahan
dengan tawa Ateng yang lucu. Nama asli Ateng sebenarnya adalah Adi. Namun
karena posturnya yang mirip pelawak lawas, nama pemberian orang tuanya menjadi
tidak terpakai lagi.