Jalan Bareng Riky

Follow Me
Tampilkan postingan dengan label pulau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pulau. Tampilkan semua postingan

Saya teringat perjalanan ke Pulau Moyo November 2012 saat itu. Perjalanan yang melelahkan juga menyenangkan. Banyak hal baru serta pengalaman yang Saya dapatkan di perjalanan tersebut. Saya juga mendapatkan keindahan dan pengetahuan alam nusantara yang indah. Sampai saat menulis ini, Saya masih merasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan tuhan. Diberikan kepercayaan olehnya untuk mengenal Pulau Moyo lebih dekat dan berbagi cerita lewat tulisan ini.

Langit telah gelap saat itu. Tubuh Saya tergeletak di atas kasur Hotel Tambora, Sumbawa, NTB. Letaknya bersebelahan dengan kantor bupati. Ukurannya cukup luas jika dibandingkan dengan hotel-hotel lainnya di Sumbawa. Usia hotel mungkin sudah cukup tua. Terlihat dari pendingin udaranya. Sangat berisik dan berbentuk kotak. Seperti keluaran generasi lama. Tapi hembusannya cukup terasa. Mmembuat hati Saya senang.

Walaupun telah malam, udara di sini membuat gerah, apalagi saat berada di dalam kamar. Kata orang, tanah Sumbawa memiliki 9 matahari ketika siang. Itu bukan isapan jempol. Saya juga merasakannya ketika itu.

"Tok...tok....tok....," suara itu terdengar pelan. Sumbernya dari jendela. Saya buka tirai yang menghalangi. Terlihat seorang bocah dari balik kaca. Saya hanya memberinya acungan jempol. Ketika melihat itu, ia beranjak pergi dan Saya melanjutkan tidur kembali. "tok...tok...tok....," suara itu kembali terdengar , kali ini seorang pria jangkung yang terlihat. Dari bibirnya dia berbicara tanpa suara. Terlihat meminta Saya untuk segera bangun. Wajahnya terlihat serius, Saya pun bergegas. Bergerak cepat membereskan tas dan keluar dari kamar.
Memandang dari atas Pulau Baling-baling sangat menenangkan
Langkah Saya berjalan di dermaga kayu siang itu. Tampak, beberapa pijakannya sudah ada yang bolong. Saya harus berhati-hati. Bisa-bisa, salah langkah, kaki Saya bisa terjebur ke dalam air. Suara denyit juga terdengar jelas ketika kaki Saya melintas. Panjang dermaga itu tidak seberapa, mungkin hanya sekitar beberapa meter. Letaknya berada di belakang rumah. Milik para nelayan desa Tumbak, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara. Dari sini, Pulau Baling-baling tampak di kejauhan.

Tali yang mengikat pada perahu Saya tarik. Perahu pun mendekat, membuat langkah Saya dengan mudah tiba di atas perahu. "tadinya kita mau naik perahu no problem," kata Ridel pemandu Saya. Namun rencana itu urung dilaksanakan. Peralatan yang di bawa Andi menjadi pertimbangan. Ia takut dengan air laut yang bergejolak bisa merusak peralatan.

Bentuk kapal no problem sangat kecil. Mungkin seperti sampan yang diberi mesin. Antara tepian perahu dan permukaan air sangatlah dekat. Warnanya di cat orange. Beda dengan perahu yang Saya tumpangi. Warnanya putih di bagian luar dan biru pada bagian dalamnya. Mungkin berkapasitas mencapai 15 orang. Cukup untuk mengangkut Saya, Ibo, Andi. Ditambah Ridel, Kiki dan ayahnya. Meski begitu, air tetap berdekatan dengan perahu yang kami tumpangi.

Perahu bergerak perlahan. Di dorong dengan bambu yang diceburkan. Karang-karang masih tampak jelas di permukaan air. Kiki berada di bagian ujung depan perahu. Memberi navigasi pada ayahnya yang bertugas di belakang. Setelah berada di perairan yang cukup dalam, mesin kapal akhirnya dinyalakan.

Cuaca saat itu panas. Angin bergerak bebas ciri khas laut. Gulungan ombak tak segan menerpa bagian depan perahu. Membasahi bagian dalam termasuk pakaian yang Saya kenakan. Gelombang ombak terus menerjang perhau. Semakin ke tengah, gempuran yang di dapat semakin kencang. Kadang perahu berada di atas ombak lalu turun dengan cepat. Melahirkan bunyi yang keras dari dasar perahu. Ibo panik. Ia meminta jaket pelampung. Sadar akan dirinya yang tidak bisa berenang.

Jul menatap mentari yang tenggelam
Bagian pertama ada di sini: Merajut Cerita Pulau Peucang Bagian 1

Langkah Saya berjalan menyusuri pantai. Pandangan luas begitu tentram dan damai. Sunyi dan tenang. Walau saat itu ramai dengan pejalan namun alamnya terjaga dengan baik. Membuat pulau ini begitu terharmonisasi dengan alam yang utuh. Saya ingat perkaatan Pak Edi tentang jumlah wisatawan yang dibatasi. "Wisatawan cuma boleh 1500, itu juga sudah penuh banget", katanya.

Pasir pantainya bersih dan putih. Sangat lembut memanjakan kaki Saya. Hamparan pasir ini memanjang dengan konturnya yang landai. Pepohonan hijau dan lebat  menjadi latar belakang pantai. Pada bagian depan , daratan Ujung Kulon menjadi panorama yang memikat. "jika dilihat dari peta, mungkin itu adalah daratan ujung Jawa bagian barat", pikir Saya saat itu.

Ombak bergerak tertiup angin. Wajah-wajah gembira berhamburan. Alam berinteraksi dengan manusia lewat caranya. Begitu juga dengan Saya. Tubuh Saya seakan terhipnotis dengan kolaborasi air laut yang bewarna biru muda dan biru tua. Saya serenang ke sana kemari. Kadang menyelam, kadang dipermukaan.  Saya seperti bocah yang kegirangan saat itu.

Jul menikmati pasir yang putih dan bersih Pulau Peucang
"ayok makan dulu" teriak pak Edi memanggil. Makanan beserta lauk pauk sudah tersaji di bawah pohon dekat dermaga. Akomodasi pengisi perut itu di kawal ketat. Anak buah kapal dan para pemandu menjadi penjaganya. Ada yang memegang bambu ada pula yang mengunakan batang pohon. Mata mereka siaga dengan gerombolan monyet yang mengintai. Sebaliknya, para monyet bersikap waspada, gerak-geriknya terus memantau melihat celah untuk mengambil kesempatan. "dasar monyet", keluh Andi. Potongan ayamnya berhasil dicuri kera dan di bawa lari ke atas pohon.

Babi-babi juga ikut meramaikan makan siang saat itu. Mereka menunggu, berharap diberi panganan oleh para pejalan. Kadang mereka mendekat namun geraknya dihentikan oleh awak kapal. "babinya jangan dikasih makan, nanti kebiasaan", teriak salah satu pemandu.
Jul Menatap keindahan perairan Pulau Peucang, Banten
Saat itu, hujan menyapa Saya di daerah Carita, Banten tahun lalu. Suasananya gelap hanya lampu mobil yang menjadi penerangan. Sesekali dari arah berlawanan, kendaraan lain menyapa lewat sinar terangnya. "Patokannya apa pak?", tanya Saya pada Pak Edi lewat telepon genggam. "Oh oke kalau begitu, Saya masih di jalan arah ke sana." sembari menutup pembicaraan.

Waktu termakan cukup lama, mungkin sekitar 4 jam sebelum tiba di Alfamart yang berhadapan langsung dengan Indomart, pesaingnya,  di desa Sumur, Ujung Kulon. Ini merupakan petunjuk dari Bapak Edi lewat obrolan sebelumnya. Dari sini mobil melaju perlahan mencari penginapan dengan Sarang Badak sebagai namanya.

Sangat mudah menemukan penginapan itu, Alil yang bertugas membawa mobil mendapat bantuan dari seorang pria. Tangannya melambai, mengarahkan untuk memasuki area penginapan. Ternyata itu Bapak Edi, Tubuhnya gempal dan memakai kacamata.  Ia telah menunggu kedatangan kami dari tadi.

Saat itu sudah dini hari. Pak Edi meminta Saya untuk tidur, "penyebarangan besok berangkat Pukul 07.00," mintanya dengan logat Sunda yang kental. Saya menuruti perkataanya, lagi pula badan juga sudah rindu dengan kasur.

Benar saja, Pukul 07.00 rombongan kami berangkat. Pak Edi menjadi pemimpin rombongan. Ada sekitar 20 orang  lebih yang di bawahinya saat itu. Kami menuju Pelabuhan Sumur. Suasanya ramai. Banyak pedagang ikan dan pembeli. Kadang suara mereka saling beradu mempertahankan harga yang diinginkan.

Rombongan kami terpecah menjadi dua. Rombongan pertama yang dikomandai langsung oleh Pak Edi di isi dengan satu keluarga besar yang beranggotakan sekitar 15 orang. Sedangkan Saya dan teman-teman bergabung dengan sesama pejalan lainnya.

Kapal berukuran kecil mengantar Kami sebelum pindah ke kapal yang lebih besar. Hal itu harus dilakukan, karena Pelabuhan Sumur memiliki perairan yang dangkal. Dari sini Pulau Umang sudah terlihat namun itu bukanlah tujuan utama. Saya masih harus bersabar, menunggu kapal bergerak lebih jauh lagi ke arah barat.


Bulan Mei 2014 Saya berkunjung ke Pulau Sangiang. Letaknya di Selat Sunda terapit Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Secara administratif masuk dalam kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten.

Selasa, 7 Mei 2014, pukul 9 malam. Saya bertemu dengan Bapak Abdul. Polisi hutan Pulau Sangiang. Perawakannya seperti orang Arab. Tinggi, hidung mancung dan besar. Kulitnya gelap. Saya minta penjelasan beliau tentang cara dan apa saja yang dibutuhkan. Ia menjelaskan secara rinci. Biaya, akomodasi sampai waktu yang tepat. Sepertinya Bapak Abdul sudah paham betul mekanisme ini.
Naik Perahu, Berangkat 
Pukul 9 pagi esoknya, Saya tiba di Pelabuhan Anyer. Pelabuhannya tidak terlalu besar tapi bersih. Tidak seperti Pelabuhan Muara Angke di Jakarta. Hitam pekat dan berminyak. Mungkin jika tercebur, kulit bisa mengelupas. Di salah satu sudut Pelabuhan Anyer terdapat bangunan. Sekilas terlihat tulisan Tentara Nasional Indonesia di plang bagian depan bangunan.

Bapak Abdul sudah tiba terlebih dahulu rupanya. “Mas Riky sini”, panggil bapak Abdul. “iya Pak,”  Saya menghampirinya ke perahu. Bentuk perahu tidak terlalu besar. Mungkin berkapasitas 15 orang. . Warna catnya biru. Pas sekali dengan air laut dan langit saat itu.
Sekitar pukul 10, Saya sampai di Pulau Sangiang. Barang-barang dibawa turun. Termasuk dua motor milik Bapak Abdul dan Kang Agus. Tempat Saya menginap berupa bangunan pos Polisi Hutan. Bersebelahan dengan pos TNI AL. Di dalamnya terdapat dua ruangan dan kamar mandi. Bagian depannya ada teras dan dapur di sisi samping. Kami istirahat sebentar dilanjutkan makan. Semua bahan yang di masak dibeli dari luar pulau. Saya makan dengan nasi, ayam goreng, tahu dan tempe sebagai lauknya. Ditambah dengan sambal sebagai pelengkap. Sumpah ini nikmat banget. 
Brrmmm... Jelajah pulau naik motor

Rombongan kami pergi ke arah timur pulau. Saya mendapat pinjaman motor jenis trail dari petugas TNI AL. Ateng duduk di bagian belakang. Sedangkan Bapak Abdul bersama Beki dan Kang Agus sendirian.
“Hayo loh Jul, Jatoh deh nih motor”, seru Ateng sambil tertawa.
“Tenang Teng, gue jago bawa nih motor, skor 8 lah buat gue.” Padahal Saya baru pertama kali mengendarai motor jenis ini.

“iya deh.” Ateng berat mengakui.

Sering kali Ateng menggoda tapi Saya tetap fokus. Kadang-kadang tertawa juga. Tidak tahan dengan tawa Ateng yang lucu. Nama asli Ateng sebenarnya adalah Adi. Namun karena posturnya yang mirip pelawak lawas, nama pemberian orang tuanya menjadi tidak terpakai lagi.

Langit biru cerah dihiasi dengan gumpalan awan putih bersih menjadi latar yang apik untuk selalu dipandangi. Ditambah lagi dengan birunya air laut yang luas menjadi sebuah lanskap sempurna untuk selalu dinikmati. Ini lah Gili Nanggu yang mempesona. Sebuah gugusan pulau di bagian barat Pulau Lombok.

Terletak di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, NTB Gili Nanggu menjelma bagai hiasan yang tak pernah berhenti memantulkan keindahannya. Bagaikan magnet, keindahan dan keelokannya mampu mengundang wisatawan untuk merasakan pesona alam yang ditawarkan. Beruntunglah Saya bisa merasakan kelembutan pasir di pantai Gili Nanggu. Sambil diselimuti hangatnya sinar mentari, Saya begitu gembira bisa merasakan pemandangan alam yang abadi khas nusantara melalui Gili Nanggu, sebuah pulau yang bertetangga dengan Gili Sudak dan Gili Kedis.

Perjalanan dimulai dari kota Mataram, dengan menggunakan mobil sewaan yang didapat dari seorang teman bernama Amet. Seorang pendaki yang tinggal di Praya, salah satu kota di Lombok. Ia sangat menyayangi Gunung Rinjani. Salah satu gunung tertinggi di Indonesia dan tertinggi di wilayah Nusa Tenggara Barat.

Buka pintu mobil, duduk manis, jalan menuju Gili Nanggu

Di perjalanan Saya berhenti untuk membeli beberapa perlengkapan yang dikiranya perlu untuk menunjang perjalanan gue nanti. Sebuah toko makanan menjadi pilihan, perbekalan berupa minuman dan makanan menjadi barang yang diutamakan. Wajar saja, karena faktor tidak adanya warung di Gili Nanggu menyebabkan Saya tidak mau mengambil resiko dengan suara berisik perut yang kosong. Alhasil, pasokan diisi secukupnya.  Merasa yang diperlukan cukup, Saya kembali melanjutkan perjalanan dengan hati yang sangat senang.

Sebelum sampai di Gili Nanggu mobil erhenti di tepi jalan daerah Sekotong, bingung,Saya  bertanya kepada mas Amet. Ternyata dirinya bermaksud menggunakan jasa neyalan dan perahunya untuk menyebrangkan Saya ke Gili Nanggu. Sebenarnya ada Pelabuhan Tawun yang biasa digunakan untuk menyebrangkan para wisatawan menuju Gili Nanggu, namun karena mas Amet mempunyai kenalan seorang nelayan dan jarak rumahnya yang ditepi pantai lebih dekat dengan Gili Nanggu, maka kami pun berangkat dengan perahu nelayan kenalan mas Amet.

Dorong perahu, naik perahu, berlayar.....

Lembutnya sinar matahari dan ombak yang tenang menemani perjalanan siang itu. Dengan perlahan, perahu yang dikemudikan sang nelayan bagai sebuah kapal yach yang mewah. Terasa nyaman dan tentram itu lah yang Saya rasa. Angin begitu sangat nikmat bersentuhan dengan kulit. Entah lah, Saya merasa sangat nyaman pada saat itu.

Kapal bersandar, loncat dan....Aahhhh Gili Nanggu....


Indah dan mempesona, sebuah pulau yang menakjubkan. Pasir bersentuhan dengan kaki Saya yang tak beralas apapun. Sungguh lembut, sumpah ini menyenangkan. Laut yang biru dengan gradasi hijau di tepi pantai dan biru tua di tengah, menjadi pemandangan yang memanjakan mata. Sambil berkeliling.

Soal keindahan, Gili Nanggu memiliki pesona atas dan alam bawah laut yang sangat indah. Pantai dengan hamparan pasir putih bersih menjadi sebuah permadani yang lembut untuk dirasakan. Begitu juga dengan alam bawah lautnya. Hanya bersonkeling di tepi pantai, Saya di suguhi pemandangan ikan-ikan yang lucu dan ramah. Jangan lupa bawa roti untuk memberi makan ikan akan yang menjadi teman setia saat bersonkeling.

Namun jangan kaget dengan ikan yang memiliki mulut seperti jarum suntik, Saya yang pertama kali melihat ikan seperti itu agak takut untuk berdekatan, namun mereka seakan mengajak bermain dan bercengkrama. Apa lagi ikan yang bibirnya merona seperti memakai lipstik, sungguh lucu. sangat menggemaskan.

Ada yang unik saat mengunjungi Gili Nanggu, terdapat katapel raksasa di tepi pantainya. Ini bagaikan maskot di Gili Nanggu.

Gili Nanggu sebuah pulau yang mempesona, pemandangan yang engkau berikan serta pesona alam yang kau tawarkan akan membuat mu selalu dikenang. Dan akan menjadi sebuah cerita yang melekat di pikiran untuk waktu yang lama. Kau sebuah pulau permata di Pulau Lombok. #Rekomendasi