Jalan Bareng Riky

Follow Me
Tampilkan postingan dengan label gelap. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gelap. Tampilkan semua postingan

Keluarga kecil menggunakan balon untuk mempercantik foto mereka saat dipotret
Ting tung..., suara perempuan memperingatkan Saya agar tidak meninggalakan barang dalam rangkaian kereta. "Ayok turun," ajak Saya kepada Rini,istri Saya dan keponakan bernama Agil. Kami melangkah mencari pintu keluar. Saya bernostalgia dengan bangunan Stasiun Jakarta Kota. Sudah lama tidak berada di sini. Mungkin sekitar 15 tahun yang lalu. Terlihat langit-langit bangunan masih tampak sama. Tinggi dan ditopang oleh besi yang melengkung. Jam sebagai penunjuk waktu pun tidak berubah. terlihat antik meski dimakan waktu.

Langkah Saya keluar. Ini yang membedakan. Jika dulu terdapat petugas yang berdiri mengecek tiket dengan cara melubangi. Kini, teknologi telah mengambil alih. Hanya perlu menempelkan tiket berupa kartu, pintu akan terbuka otomatis. Hal ini juga yang membuat Agil antusias merasakan sensasi pintu elektonik.

Dulu petugas yang mengurusi pintu masuk kini teknologi telah mengambil alih peran tersebut
Perbedaan lainnya yang Saya rasakan, tidak ada lagi pedangang asongan dan penjual buah yang seliweran di dalam stasiun. keadaannya lebih teratur. Meski tetap ramai oleh para penumpang. Pada salah satu sisi stasiun, kedai-kedai terkini dan berkualitas internasioal berjejer, menawarkan produknya masing-masing.

Saya keluar ke pintu sebelah kiri namun harus balik ke arah berlawanan. Ternyata Kawasan Kota Tua yang ingin Saya kunjungi berada di arah sebaliknya. Dari sini Saya ingin mengajak Agil mengenal Museum Mandiri. Namun hal yang pertama dia mau adalah makan. "Agil laper cik", pintanya pada Rini. Alhasil Saya harus mengajaknya makan terlebih dahulu. Pilihan Agil saat itu adalah soto ayam dari pedagang kaki lima. Namun Ia kecewa dengan rasa soto pilihannya."gak ada rasanya", keluhnya.  Beruntung ketoprak pilihan Saya memiliki cita rasa yang cukup enak. Bumbu kacang dan rasa bawang putihnya pas.

Perut Sudah terisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Rencana awal yang ingin mengenalkan Agil dengan Museum mandiri, Saya ubah. Daripada harus balik lagi ke jalan semula kenapa tidak masuk Saja ke Museum Wayang atau Museum Fatahillah, jaraknya toh lebih dekat. Pikir Saya saat itu. Namun rencana hanyalah tinggal wacana. Pintu Museum sudah tertutup. Saya baru ingat kalau museum tutup jam 4 sore. Padahal saat itu waktu hanya berselisih sedikit dari jam tutup.

Selalu ada rencana cadangan, kata orang-orang. Itu juga yang saya gunakan. Berbekal tongsis yang lagi eksis, Kami pun jalan di pelataran bekas gedung Gubernur Batavia kala itu. Agil pun keranjingan dengan mainan barunya. Telepon seluler istri dan tongsis tidak lepas dari genggamannya. jeprat sana jepret sini, dia bergaya layaknya model dan fotografer yang dia rangkap sendiri. Seperti terjangkit virus dari Agil Saya dan istri juga tidak mau kalah bernasis ria. Kadang, kami melakukannya bertiga.

Kena virus Agil jadinya narsis juga
Agil merupakan anak Uni Neli, Kakak Rini yang tinggal di Tambun. Perjalanan ini menjadi pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Kota Tua yang bersejarah. Meskipun kaya akan cerita, bangunan tua tidak menjadi latar yang apik baginya. Hasil karyanya banyak didominasi oleh wajahya. "bagusnya ada pemandangan sekitarnya gil, jadi nanti kalau di sebar ke facebook, orang-orang bisa liat. Oh.. ternyata kamu lagi di kota tua." saran Saya padanya. Dia tertawa mendengar itu.

Agil bersama Makciknya bergaya di Pelataran Kota Tua