Saya, Andi, Om Ance dan Ibo di tepi Danau Linow |
Di depan Saya, lelaki itu berjalan pelan menatap ragu. Wajah dan matanya masih sayu. Rambut dan pakaianannya berantakan sisa tidur semalam. Sepertinya ia kurang tidur, pikir Saya saat itu. Umurnya sekitar 30-an. Jemarinya sesekali bermain di layar ponsel selular
"Ridel?"
Ia mengangguk. "Saya Riky," sambil menjabat tangannya.
Ketika kami sudah bersiap, lelaki muda datang dengan mobil sejenis avanza. Ia keluar dengan cepat lalu menghampiri Ridel. Mereka terlibat obrolan serius. Entah apa yang mereka bicarakan. Dari trotoar tempat Saya berdiri, suara mereka tidak terlalu terdengar. Padahal jarak kami tidak terlalu jauh. Hanya beberapa meter Saja.
Obrolan mereka terlihat segera berakhir, benar saja. Pemuda itu menghampiri dan membawa tas Saya lalu memasukkannya ke dalam mobil bagian belakang. Saya ikut masuk tanpa bertanya dan memilih duduk di kursi depan bagian kiri. Begitu juga dengan Andi dan Ibo. Mereka duduk di kursi tengah seperti biasa.
Kejadian di depan hotel masih menempel dalam pikiran Saya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ridel tidak ikut dengan kami? Rasa itu klimaks menjadi sebuah pertanyaan bagi si pemuda sekaligus juru mudi kami. "gak apa-apa, tadi ada kesalahan aja." jawaban itu tidak membuat Saya puas. Saya bertanya lagi mengenai Ridel. "Saya Ridel." jawabnya. Ia mengeluarkan KTP sebagai tanda bukti. Ucapannya tidak bohong. Nama Ridel dan foto yang menempel, serupa dengannya. Sedangkan pria tadi adalah pemandu pengganti bila Ridel tidak datang.
Ridel bertubuh tegap dan memiliki potongan rambut yang tipis di sisinya. Tingginya melebihi Saya, mungkin sekitar 170 cm. Ia mengawali cerita dengan bermalam di Batu Putih. Tamu bulenya memaksa dia untuk tidur sebelum melanjutkan perjalanan. Lagi pula, hari sudah sangat gelap saat itu.
Cerita Ridel mengingatkan Saya akan Batu Putih. Ketika itu, Perjalanan Manado-Batu Putih hampir dua setengah jam ditambah 2 jam treking di dalam hutan membuat Saya pesimis. Monyet hitam, salah satu satwa endemik, Sulawesi Utara belum juga Saya temui. Meski tadi, di dalam hutan sana Saya sudah bertemu dengan tarsius tapi itu belum lah cukup. Rasa ingin tahu Saya belum terpuaskan. Namun asa datang ketika berniat pulang. Ibo melihat monyet hitam sedang bertengger di pohon tepi jalan. Rambutnya berjambul. Pantatnya bewarna merah jambu dan Taringnya menakutkan saat monyet itu menguap.
Monyet hitam, salah satu satwa endemik Sulawesi Utara |
Mobil kami terus melaju di jalanan menanjak Manado-Tomohon. Pada salah satu ruas jalan, bebatuan kerikil mengambil peran aspal sebelumnya. Jembatan setengah utuh juga jadi biang keladi. Ridel memperlambat laju . Sementara itu, pada bagian tebing, beberapa sisa kikisan masih tampak jelas. Pikiran Saya balik ke tahun 2013. Salah satu media online waktu itu mewartakan longsor yang mengakibatkan putusnya jalur Manado-Tomohon.
Hampir sejam perjalanan, Gunung Lokon di sisi kanan mulai terlihat jelas. Kami sudah tiba kota Tomohon. Kota ini identik dengan bunga. Sama dengan kota Batu di Malang, Jawa Timur. Hanya saja, Tomohon memiliki pasar tradisional yang unik. Pada bagian belakang pasar, banyak penjual daging yang tidak biasa. Bayangkan saja, kepala babi berserakan di atas meja, daging kalong yang dijual terpisah dengan sayapnya, tikus-tikus hutan menghitam sisa pembakaran, anjing-anjing dikurung siap dipotong, sempat membuat Ibo mual. Anehnya lagi, salah satu penjual sedang membuang bulu-bulu yang menempel dikulit babi hutan. Caranya mirip tukang las. Menggunakan api biru sebagai senjata. Sayang, waktu kesana, Saya tidak melihat daging ular piton. Kata salah satu penjual kalau datang pada hari Minggu, kemungkinan lebih terbuka lebar.
![]() |
Pasar Tomohon identik dengan daging tidak biasa untuk dijual |
Tidak jauh dari kota Tomohon, petunjuk terbuat dari kayu memberi Saya kenangan. Bentuknya tidak terlalu besar, mungkin seukuran papan tulis yang paling kecil. Danau Linow namanya. Di sanalah Saya berimajinasi. Duduk bersama kekasih membicarakan harapan dan mimpi. Melempar canda dan senyum. Melepas resah dan beban. Bicara masa lalu dan kebahagiaan. Memandangi danau berlapis hijau. Membiarkan sejuk, menyentuh pelan kulit kami. "Andai Kamu ada saat itu"
Cerita selanjutnya: Tompaso, Tanah Leluhur Suku Minahasa
![]() |
Danau Linow memiliki air yang dapat berubah-ubah |
Ngeri banget lihat pasarnya apalagi kalo orang yang belum terbiasa lihat. Danau Linow kayak Telaga Warna di Dieng ya..
BalasHapusSalam
Backpangineer.com
Iya bener banget, kalau penyayang binatang enggak disarankan ke Pasar Tomohon, makasih udah berkunjung ya :)
HapusDuh kepala babinyaaa..
BalasHapuswww.littlenomadid.blogspot.com
senyum gitu ya kepala babinya :D
HapusKeren bgt tuh danau!
BalasHapusSetuju, hawanya juga sejuk :)
Hapus