Keluarga kecil menggunakan balon untuk mempercantik foto mereka saat dipotret |
Langkah Saya keluar. Ini yang membedakan. Jika dulu terdapat petugas yang berdiri mengecek tiket dengan cara melubangi. Kini, teknologi telah mengambil alih. Hanya perlu menempelkan tiket berupa kartu, pintu akan terbuka otomatis. Hal ini juga yang membuat Agil antusias merasakan sensasi pintu elektonik.
Dulu petugas yang mengurusi pintu masuk kini teknologi telah mengambil alih peran tersebut |
Saya keluar ke pintu sebelah kiri namun harus balik ke arah berlawanan. Ternyata Kawasan Kota Tua yang ingin Saya kunjungi berada di arah sebaliknya. Dari sini Saya ingin mengajak Agil mengenal Museum Mandiri. Namun hal yang pertama dia mau adalah makan. "Agil laper cik", pintanya pada Rini. Alhasil Saya harus mengajaknya makan terlebih dahulu. Pilihan Agil saat itu adalah soto ayam dari pedagang kaki lima. Namun Ia kecewa dengan rasa soto pilihannya."gak ada rasanya", keluhnya. Beruntung ketoprak pilihan Saya memiliki cita rasa yang cukup enak. Bumbu kacang dan rasa bawang putihnya pas.
Perut Sudah terisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Rencana awal yang ingin mengenalkan Agil dengan Museum mandiri, Saya ubah. Daripada harus balik lagi ke jalan semula kenapa tidak masuk Saja ke Museum Wayang atau Museum Fatahillah, jaraknya toh lebih dekat. Pikir Saya saat itu. Namun rencana hanyalah tinggal wacana. Pintu Museum sudah tertutup. Saya baru ingat kalau museum tutup jam 4 sore. Padahal saat itu waktu hanya berselisih sedikit dari jam tutup.
Selalu ada rencana cadangan, kata orang-orang. Itu juga yang saya gunakan. Berbekal tongsis yang lagi eksis, Kami pun jalan di pelataran bekas gedung Gubernur Batavia kala itu. Agil pun keranjingan dengan mainan barunya. Telepon seluler istri dan tongsis tidak lepas dari genggamannya. jeprat sana jepret sini, dia bergaya layaknya model dan fotografer yang dia rangkap sendiri. Seperti terjangkit virus dari Agil Saya dan istri juga tidak mau kalah bernasis ria. Kadang, kami melakukannya bertiga.
Kena virus Agil jadinya narsis juga |
Agil bersama Makciknya bergaya di Pelataran Kota Tua |
Kreasi mendatangkan Rupiah
Sekumpulan orang memperhatikan dengan seksama manusia-manusia patung yang bewarna emas dan perak mencolok. Perhatian mereka lebih tertuju pada patung manusia emas yang menggunakan pakaian tentara ala zaman kemerdekaan. Kadang mereka saling bicara sesama teman. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Mereka heran, bagaimana bisa tentara emas itu duduk tanpa ada yang meyangga. Pertanyaan itu juga muncul dari Rini. "dia pake penyangga, ada di balik baju sama sepatu makanya gak keliatan." Jelas saya, sambil menunjuk manusia patung itu.
Pengunjung Kota Tua merasa heran dengan cara duduk manusia patung yang melayang |
"Cetar....", bunyinya terdengar pengang. Sumbernya berasal dari cambuk kesenian Kuda Lumping. Gamelan mulai ditabuh. Tanpa di suruh, orang-orang mulai melingkar mencari tempatnya masing-masing. Kesenian ala tradisional ini juga menjadi bagian dari atraksi Kota Tua. Beda lagi dengan pemilik balon bewarna-warni. Ia menyediakan jasa balonnya untuk kepentingan properti. Benda dari karet yang bisa menggelembung ini, digunakan pengunjung Kota Tua sebagai pemanis saat mengambil gambar. Sangat kreatif, ujar Saya dalam hati.
Sepeda tua atau bernama lain sepeda ontel hilir mudik dengan warna-warnanya yang cerah. Kadang dikendarai oleh sepasang kekasih atau orang tua bersama anaknya. Ada pula yang sendiri. Entah hanya penasaran atau memang belum ada kekasih. Pikir Saya menggelitik. Pengendara atau yang dibonceng dilengkapi dengan topi ala noni belanda. Warnanya pun senada dengan warna sepeda yang mereka pilih. Kadang sepeda ini hanya terpajang di salah satu sudut, menunggu pelanggan untuk menaiki.
Seorang ibu bersama anaknya menikmati suasana Kota Tua menggunakan sepeda ontel |
Seniman jalan merias wajah untuk melahirkan efek seram |
Dari Terang ke Gelap
Hasil foto-foto Agil yang Ia unggah media sosial ternyata membuahkan hasil. "Nih cik yang like Agil di facebook banyak, sampe 100." kata Agil ke Rini. Dasar ABG," timpal Rini sambil tertawa. Perjalanan kami dilanjutkan setelah beristirhat sebentar di depan pintu masuk Pintu Museum Fatahillah
Langit mulai berubah menjadi gelap. Kami terus melihat keadaan sekitar. Namun cuaca tidak mendukung. Hujan membuyarkan lapangan menjadi kosong. Saya pun mengambil gedung pos sebagai tempat berteduh. Di dalamnya, suasana kolonial masih terasa. Bentuk dan meja sebagai tempat melayani pelanggan pos terlihat sudah sangat lama. Kaca-kaca dengan bentuk yang memanjang sangat mirip dengan kepunyaan Museum Fatahillah.
Hujan meninggalkan rintik lalu menghilang. Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini Kedai Seni Djakarte menjadi tempat singgah. Keadaan sudah sangat ramai, "semua sudah penuh, lantai dua juga sama", jelas seorang kasir kepada Saya. Namun baru beberapa saat menunggu, satu keluarga pergi meninggalkan meja kosong. Saya pun langsung mengambil alih bersama Rini dan Agil.
Suasana di dalam kedai kental dengan warna merah. Meja dan kursinya memiliki ciri khas budaya Betawi yang telah teralkutasi dengan budaya Tiongkok. Bentuk Mejanya bundar dan kursi yang di buat tinggi untuk peyangga kakinya.
Kedai Seni Djakarte kental nuansa dinding bewarna merah dan kursi meja gaya Betawi |
Halaman demi halaman saya balik. Cerita Nyai Dasima menarik perhatian Saya. Diceritakan bahwa Nyai Dasima merupakan gundik dari pria berkebangsaan Inggris. Ia memiliki harta melebihi masyarakat Betawi kala itu. Ini menarik seseorang Betawi untuk mengajak Nyai Dasima kembali lagi dalam lingkungan leluhurnya. Si Nyai pun terpikat, namun keluarga barunya malah membunuh Nyai Dasima demi harta.
Ada pula isi surat J P Coen, pendiri Batavia kepada dewan direksi VOC, Herren XVII. Yang secara garis besar memohon meminta kapal, dana dan pasukan dalam jumlah besar. Ia merasa perlu karena pada saat itu, Pangeran Jayakarta tengah membangun pertahanan dan orang-orang Inggris juga membangun pos dagang bersebrangan dengan milik Belanda. "Kami tidak gentar", Kata J.P Coen di dalam surat. Ia mengharapkan perang dan kemenangan demi meraih keuntungan besar tiap tahunnya.
Buku ini dicekal pemerintah orde baru pada tahun 1987 karena tidak suka dengan Susan Balckburn mengulas Jakarta |
Suasana malam
Bakwan jagung, sambal kacang dan kopi lampung sudah mengisi energi Saya yang hilang. Begitu juga dengan Rini. Agil pun demikian, tenaganya telah kembali setelah menyantap nasi goreng yang ia anggap tidak memiliki rasa.
Kami kembali jalan ke halaman terbuka di depan Museum Fatahillah. Meski langit telah berubah menjadi gelap namun keramaian masih menemani Kota Tua. Setan-setan pun sudah hadir mempelihatkan wujud mereka. Pocong, kuntilanak, penyihir, sundel bolong mengambil posisi mencari lapak mereka. Meski bertampang seram, pengunjung Kota Tua malah sangat antusias untuk berfoto bersama atau sekedar melihat. Beda lagi dengan Hatin atau Hantu Pengantin. Ia menerima karangan bunga dari pengunjung seakan menyatakan cinta untuk dirinya.
Hantu pocong menampakkan diri yang membuatnya menjadi tontonan para pengunjung Kota Tua |
Komouitas reggea sedang bersiap untuk tampil menghibur |
Seorang anak merasa tertarik dengan boneka yang dimainkan sambil diiringi musik dangdut terkini |
Rini bergaya di Salah satu jalan Kota Tua |
Bergandengan Tangan |
Pose ala Rini |
Setan juga tidak mau ketinggalan dengan teknologi |
Alam yang berbeda tidak membuat pengunjung untuk menyatakan cinta kepada Hatin (hantu pengantin) |
Nice spot, seperti di Titik Nol Jogja suasananya...
BalasHapusTerima kasih. mudah2an saya bisa ke Titik Nol Jogja
Hapus