Jul menatap mentari yang tenggelam |
Langkah Saya berjalan menyusuri pantai. Pandangan luas begitu tentram dan damai. Sunyi dan tenang. Walau saat itu ramai dengan pejalan namun alamnya terjaga dengan baik. Membuat pulau ini begitu terharmonisasi dengan alam yang utuh. Saya ingat perkaatan Pak Edi tentang jumlah wisatawan yang dibatasi. "Wisatawan cuma boleh 1500, itu juga sudah penuh banget", katanya.
Pasir pantainya bersih dan putih. Sangat lembut memanjakan kaki Saya. Hamparan pasir ini memanjang dengan konturnya yang landai. Pepohonan hijau dan lebat menjadi latar belakang pantai. Pada bagian depan , daratan Ujung Kulon menjadi panorama yang memikat. "jika dilihat dari peta, mungkin itu adalah daratan ujung Jawa bagian barat", pikir Saya saat itu.
Ombak bergerak tertiup angin. Wajah-wajah gembira berhamburan. Alam berinteraksi dengan manusia lewat caranya. Begitu juga dengan Saya. Tubuh Saya seakan terhipnotis dengan kolaborasi air laut yang bewarna biru muda dan biru tua. Saya serenang ke sana kemari. Kadang menyelam, kadang dipermukaan. Saya seperti bocah yang kegirangan saat itu.
Jul menikmati pasir yang putih dan bersih Pulau Peucang |
Babi-babi juga ikut meramaikan makan siang saat itu. Mereka menunggu, berharap diberi panganan oleh para pejalan. Kadang mereka mendekat namun geraknya dihentikan oleh awak kapal. "babinya jangan dikasih makan, nanti kebiasaan", teriak salah satu pemandu.
Babi menjadi satwa yang mudah ditemi pada tepian pantai Pulau Sangiang |
Dari dermaga Pulau Peucang, Kapal bergerak ke dermaga lainnya di seberang pulau. Waktunya tidak lama hanya sekitar 5 menit, kapal sudah bersandar kembali. Saya masuk lebih dalam ke arah hutan bersama pejalan lainnya. Pak edi berada di ujung bagian depan. Sekitar 15 menit lamanya, Kami pun tiba di Padang Pengembalaan Cidaon, sebuah kawasan padang rumput yang sering dijadikan oleh satwa Ujung Kulon untuk mencari makan. Luasnya sekitar 4 hektar. Pada waktu-waktu tertentu, satwa seperti banteng, kera, merak termasuk badak bercula satu khas Ujung Kulon juga mencari makan di Padang Cidaon. Kata-kata seperti itu yang tertera pada papan informasi. Di area ini terdapat menara pantau yang memiliki ketinggian mencapai 10 meter. Terbuat dari kayu dan bertinggkat 3.
Ateng bergerak maju perlahan. Mengendap di antara ilalang. Lensa kameranya dituju pada satwa-satwa. Namun aroma tubuh Ateng sepertinya sudah terendus. Satwa-satwa merespon bergerak pelan. Bersiap untuk pergi. Melihat itu, Pak Edi mengajak kami untuk segera pergi. "ayok balik lagi ke kapal, kasian nanti kalau satwanya pada pergi yang lain gak bisa liat. Masih ada rombongan lainnya yang mau kesini." ucapnya memberi saran.
Mengejar Senja Karang Copong
"Bagi yang mau ikut ke Karang Copong ayok kumpul di lapangan", teriak Pak Edi. Beberapa pejalan mengambil bagian termasuk saya. Kami berbaris memanjang di lapangan. "Kita akan ke Karang Copong, kurang lebih 45 menit waktunya. Jadi pulang pergi satu setengah jam. Bagi yang bawa obat nyamuk dan senter di bawa. Soalnya kita pulang pada waktu gelap. Polisi hutan juga akan menemani kita." terang Pak Edi memberi pengarahan.
Sekitar pukul 4 sore kami mulai memasuki hutan pedalaman Pulau Peucang. Hutannya cukup lebat. Beberapa akar tua menopang pepohonan yang tinggi. Ada pula yang menjalar di tanah. Membuat langkah Saya sesekali tersandung. Dari balik pohon, bentol-bentol putih terlihat. Beberapa rusa sedang memperhatikan perjalanan kami. Matanya tajam, seakan berbicara jangan dekati kami.
Sinar matahari saat itu begitu terang terang. Namun cahayanya tidak leluasa menembus pertahanan hutan kokoh. Hanya beberapa celah saja yang mampu menusuk. "Pekak pekakkk..." suaranya membahana seantero hutan. Saya mencari-cari dari mana sumbernya. "itu suara burung merak, dia lagi ngasih tau teman-temannya" jelas polisi hutan.
Cahaya mentari menembus celah hutan Pulau Peucang yang lebat |
"Kenapa namanya Karang Copong pak", tanya Saya pada polisi hutan. "Di sana ada karang yang bolong, bahasa Sundanya copong." jelas polisi hutan sambil menunjuk ke arah kanan.
Saya lebih memilih duduk di salah satu batu karang. Karena untuk menuju ke Karang Copong harus menempuh perjalanan dan memakan waktu. Sedangkan saat itu, matahari sudah mulai bergerak turun meninggalkan dunia.
Kelompok pejalan yang melepas rindu memandangi suasana matahari tenggelam |
Hutan Pulau Sangiang masih terjaga dengan baik |
Akar pohon menjaga kesesimbangan pohon meski tampak tua |
Habis baca cerita ini jadi kangen pengen ke Pulau Peucang lagi, pertama kali kesana akhir des 2012 (x_x)
BalasHapusTapi satu hal yg paling gw ingat tentang Peucang adalah keberadaan satwa liar di depan homestay haha..
Bener banget, monyet di sana kadang ikut masuk ke penginapan :D
Hapuswoww excited sekali baca blognya, jadi racun jalan2 :)
BalasHapusmakasih, gpp lah keracunan jalan2 kan enak
HapusBabi bikin berisik kalo malam di peucang hahahaha
BalasHapusuntung cuma berisik aja bang gak ngepet hahaaa
Hapus