Bulan Mei 2014 Saya berkunjung ke Pulau Sangiang. Letaknya di Selat Sunda terapit Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Secara administratif masuk dalam kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten.
Selasa, 7 Mei 2014,
pukul 9 malam. Saya bertemu dengan Bapak Abdul. Polisi hutan Pulau
Sangiang. Perawakannya seperti orang Arab. Tinggi, hidung mancung dan besar. Kulitnya
gelap. Saya minta penjelasan beliau tentang cara dan apa saja yang dibutuhkan. Ia menjelaskan secara rinci. Biaya, akomodasi sampai waktu yang tepat.
Sepertinya Bapak Abdul sudah paham betul mekanisme ini.
Naik Perahu, Berangkat
Pukul 9 pagi esoknya,
Saya tiba di Pelabuhan Anyer. Pelabuhannya tidak terlalu besar tapi bersih.
Tidak seperti Pelabuhan Muara Angke di Jakarta. Hitam pekat dan berminyak.
Mungkin jika tercebur, kulit bisa mengelupas. Di salah satu sudut Pelabuhan
Anyer terdapat bangunan. Sekilas terlihat tulisan Tentara Nasional Indonesia
di plang bagian depan bangunan.
Bapak Abdul sudah tiba
terlebih dahulu rupanya. “Mas Riky sini”, panggil bapak Abdul. “iya Pak,” Saya menghampirinya ke perahu. Bentuk perahu tidak terlalu besar.
Mungkin berkapasitas 15 orang. . Warna catnya biru. Pas sekali dengan
air laut dan langit saat itu.
Sekitar pukul 10, Saya sampai di Pulau Sangiang. Barang-barang dibawa turun. Termasuk dua motor milik
Bapak Abdul dan Kang Agus. Tempat Saya menginap
berupa bangunan pos Polisi Hutan. Bersebelahan dengan pos TNI AL. Di dalamnya
terdapat dua ruangan dan kamar mandi. Bagian depannya ada teras dan dapur di
sisi samping. Kami istirahat sebentar dilanjutkan makan. Semua bahan yang di
masak dibeli dari luar pulau. Saya makan dengan nasi, ayam goreng, tahu dan
tempe sebagai lauknya. Ditambah dengan sambal sebagai pelengkap. Sumpah ini nikmat
banget.
Brrmmm... Jelajah pulau naik motor
Rombongan kami pergi ke
arah timur pulau. Saya mendapat pinjaman motor jenis trail dari petugas TNI AL.
Ateng duduk di bagian belakang. Sedangkan Bapak Abdul bersama Beki dan Kang Agus
sendirian.
“Hayo loh Jul, Jatoh
deh nih motor”, seru Ateng sambil tertawa.
“Tenang Teng, gue jago
bawa nih motor, skor 8 lah buat gue.” Padahal Saya baru pertama kali mengendarai
motor jenis ini.
“iya deh.” Ateng berat
mengakui.
Sering kali Ateng
menggoda tapi Saya tetap fokus. Kadang-kadang tertawa juga. Tidak tahan
dengan tawa Ateng yang lucu. Nama asli Ateng sebenarnya adalah Adi. Namun
karena posturnya yang mirip pelawak lawas, nama pemberian orang tuanya menjadi
tidak terpakai lagi.
“Aduh,” Ateng berteriak
kesekatian
Hati-hati Teng, lo udah
kecil masih aja kepala lo mentok batang pohon.”.
“Ye sial lo.” Ateng
jengkel sembari melanjutkan perjalanan.
Gulungan ombak secara
konstan menampar bibir goa kelelawar. Sesuai namanya, kelelawar hilir mudik terbang di langit-langit goa.
Kata Bapak Abdul, jika cuaca sedang pas atau ombak sedang tidak keras akan banyak hiu yang menunggu kelelawar jatuh untuk di makan. Namun saat itu tidak satu hiu pun yang muncul.
Lagi di depan Goa Kelelawar |
Pukul 12. Saya berdiri
di atas bukit. Berhadapan dengan Samudera lepas berada. Kanan dan kiri dibatasi
dengan tebing-tebing. Ombak mengalir deras menghantam tebing itu. Saya tersenyum
kecil menyaksikan panorama ini.
“Mas Riky, ayok turun.”
Ajak Bapak Abul.
“Mau ngapain pak”
“Kita liat Goa Tungku,
tuh goanya”. Tangan Bapak Abdul menunjuk mulut goa yang berada di bawah.
“siap pak”. balas saya cepat
Saya menuruni tebing
dengan perlahan. Kemiringan mencapai 90 derajat. Bantuan saat itu hanya berupa tali dan pijkan
yang tepat. Meleset sedikit atau tangan Saya tidak kuat memegang tali pasti terjatuh dan mengalami luka yang cukup serius.
Goa Tungku hampir sama
dengan Goa kelelawar. Bagian ujungnya ada lubang. Ombak masuk dari sana lalu
terhempas ke mulut goa. Ada hiu dan kelelawarnya juga. Nama Tungku berasal dari
alat pembakaran yang terbuat dari tanah liat. Karena bentuknya yang mirip (kata orang di sana) maka nama Goa ini dinamakan demikian.
Manjat menara, Terpukau, woww.....
Perjalanan dilanjutkan sekitar pukul 3
sore. Kali ini ke arah barat pulau. Saya melewati jembatan. Bentuknya
melengkung. Di bawahnya terdapat aliran sungai. Sedangkan sisi kanan dan kiri
sungai dirimbuni pepohonan bakau. Aku juga melihat landasan helikopter. Gue bilang sama Ateng. Pasti pulau ini berpotensi banget. Ateng menangguk tanda
setuju.
Tujuan saat itu
adalah menara pengawas TNI AL. Tingginya sekitar 30 meter. Letaknya berada di
pojok kanan Pantai Batu Mandi. Saya harus menembus akar berduri dan menapaki
tangga sebelum benar-benar sampai di depan menara.
“Saya duluan ya”, kata Saya ke Ateng sambil memanjat tangga menara.
“sip, jangan kentut aja
lo”. Katanya memperingati.
“tenang Teng, kentut
gue beraroma vanilla, bagus buat pernafasan”.
“Pret…..”. Timpal Ateng
Saya berteriak
sekencangnya-kencangnya saat tiba di puncak menara pengawas. Ateng menanggap Saya gila. Sumpah ini keren banget. Hampir
keseluruhan Pulau Sangiang terlihat dengan jelas. Laut biru terbentang luas di
hadapan Saya. Jajaran pepohonan yang hijau membuat
lanskap menjadi sejuk. Tebing-tebing sebagai peyangga pulau terlihat perkasa.
Ombak seakan berjalan lambat. Saya sangat menikmatinya. Sumpah, Saya menikmati ini.
|
“ngapain lo teng?”,
“ngetes kekuatan
menara, ternyata kuat”.
“sarap”.balas saya kesal ke Ateng
Saya lanjut menikmati
lanskap. Garis pantai terlihat melengkung. Airnya terbagi dua. Biru muda di
tepian dan biru tua di bagian tengah. Benar-benar memanjakan mata.
Tebing-tebing yang kokoh walau di hempas ombak yang kencang |
Sinarnya bikin hati semeliwir
Pukul 5 sore. Bangunan
berderet tersusun rapih di bagian belakang Pantai Batu Mandi. Mejanya terbuat dari marmer bewarna hitam dan kursi panjang yang
saling berhadapan. Saya keluarkan Jul dari kantong celana. Jul adalah mainan
lego yang Saya temukan terkapar di parkiran motor Summerecon Bekasi. Saya memang
ingin menjadikan Jul sebagai objek foto saat pertama kali bertemu.
Saya tata Jul menghadap matahari tenggelam. Warna
jingga sangat dominan. Sinar matahari membuatnya menjadi siluet. Pantulan
bayangan dari meja marmer menambah artistik. Tebing di sisi kanan melengkapi
dekorasi. Sempurna, Saya berucap dalam hati.
Foto yang Saya dedikasikan untuk istri di Pantai Batu Mandi, Pulau Sangiang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar